Thursday, March 17, 2011

BAB IV NU DISIGN MAKER POLITIK






 BAB IV 
PENOLAKAN NU  TERHADAP  FAHAM WAHABI



Seperti yang telah diurai diatas menganai tuntutan NU kepada Raja Ibnu Sa'ud, bahwa NU menghendaki adanya kebebasan bermadzab. Pemaksaan kepada umat Islam untuk mengikuti satu madzhab Wahabi sangat bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan dalam beragama.
Disamping itu, penolakan NU terhadap Madzhab wahabi, lebih disebabkan adanya politisasi Agama, sehingga Agama menjadi alat kekuasaan. "siapa yang bermadzhab wahabi akan aman hartanya, darahnya dan jiwanya, tetapi siapa yang menolak bermadzhab wahabi akan diperangi dan diraampas harta kekayaannya". Politisasi agama seperti ini sangat ditolak oleh NU, karena politisasi agama dapat menodai kesucian agama itu sendiri.
Bukti politisasi agama yang dilakukan oleh wahabi adalah seperti perebutan kekuasaan oleh Ibnu Sa'ud dari seorang Gubernur menjadi seorang raja.
Sebagaimana kita ketahui, peralihan kekuasaan dalam sistem kerajaan atau kesultanan, biasanya dilakukan secara turun temurun. Menyimpang dari kebiasaan yang ada pada tahun 1160 H Gubernur kota Durriyah (Ibnu Sa'ud) melakukan kerjasama politik dengan Muhamad bin Abdul Wahab. Dalam kerjasama itu disepakati bahwa Madzhab yang berlaku di kota Durriyah adalah madzhab Wahabi dan konsekwensi logisnya Syek Muhamad bin Abdul Wahab menjanjikan kekuasaan penuh kepada Ibnu Saud.
Sebagai gambaran untuk diketahui, kondisi kota Durriyah pada saat disepakatinya kerja sama antara Syek Muhamad bin Abdul Wahab dan Gubernur Ibnu Saud hampir seluruhnya penduduk kota Durriyah hidup dalam kemelaratan dan sangat membutuhkan bantuan uluran tangan (miskin). Dalam kondisi miskin, masyarakat mudah dipengaruhi dan dimasuki idiologi baru apapun.
Langkah awal yang dilakukan oleh kolaborasi antara Syek Muhamad bin Abdul Wahab dan Gubernur Ibnu Saud adalah menyebarkan ajaran wahabi, barang siapa yang tidak menerima ajaran wahabi, maka darah dan haartanya halal.
Wahabi mulai melakukan penyerangan ke kabilah-kabilah umat Islam, serta daerah-daerah perkotaan yang tidak bersedia mengubah atau menerima keyakinan menjadi wahabi. Fakta sejarah mengindikasikan bahwa  semua harta kekayaan yang dimiliki Ibnu Saud, dikumpulkan dan diperoleh dengan cara menyerang umat Muslim dari kabilah‑kabilah yang lain, serta daerah‑daerah perkotaan yang tidak bersedia mengubah atau menerima keyakinan mereka untuk mengikuti madzhab wahabi.
Ini menggambarkan, bahwa agama hanya dijadikan kedok untuk merampas kekayaan orang lain (sesame muslim) yang tidak mau menerima ajaran Wahabi.
Menyangkut harta rampasan perang yang diambil Syekh Muhammad dari kaum Muslim di daerah itu, syekh Muhamad berfatwa: "boleh menggunakan harta rampasan dengan cara sesuka hati". Pada masa kejayaannya, dia menghadiahkan harta rampasan hanya kepada pemgikutnya saja dari semua harta rampasan perang, padahal jumlahnya sangat banyak. Tak peduli apa harta rampasan perang itu, semuanya berada dalam kepemilikan Syekh, atau tidak, dan Amir Najd bisa mendapatkan bagian dari harta rampasan perang itu dengan seizin Syekh.
Salah satu kerusakan yang terbesar selama masa kehidupan Syekh Muhamad ialah, suatu hal sangat nyata, bahwa dia telah memperlakukan umat Muslim yang tidak mengikuti ajarannya, dinyatakan sebagai seorang kafir yang layak diperangi. Bahkan dia tidak memiliki sopan santun sama sekali untuk menghargai nyawa dan harta milik mereka.
Dalam ajarannya, Muhamad bin Abdul Wahab menyerukan kepada masyarakat tentang tauhid (monoteisme) namun perlu dicatat, ajaran tauhid yang diajarkannya adalah ajaran tauhid yang keliru. Siapa saja yang taat maka akan memiliki jaminan kekebalan sepanjang hidupnya, dan harta miliknya akan diperhatikan.  Sebaliknya siapa saja yang tidak taat, maka hartanya akan diambil dan orangnya akan dibunuh seperti orang kafir. Ajaran ini jelas sangat menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, dimana ajaran Islam itu Rohmatan lil alamin.
Dalam menjalankan ambisinya Syekh Muhamad bin Abdul Wahab melakukan penekanan terhadap kaum Muslimin melalui berbagai peperangan. Peperangan ‑ peperangan yang dilancarkan kaum Wahabi adalah perang di dalam serta di luar wilayah Najd, seperti Yaman, Hijaz, daerah sekitar Suriah dan Irak yang merupakan basis kaum  muslimin. Setiap kota yang mereka taklukkan lewat perang dan berada dalam kekuasaan mereka, adalah halal dan sah, dan dengan menjual agama dia menyatakan sesuai dengan ajaran agama menurut pandangan mereka. Jika mereka mampu menaklukkan, maka akan ditetapkan sebagai hak milik mereka. Bila tidak dapat ditaklukan, maka mereka membawa pulang harta rampasan yang mereka jarah secara kejam dan biadab.
Muhamad bin Abdul Wahab menyerukan "Siapa yang taat kepada ajarannya dan mendengarkan seruannya harus berbaiat, bersumpah setia kepada dia. Bila memberontak, maka dibunuh dan harta mihknya dibagi. Atas dasar politik ini, mereka membunuh tiga ratus laki‑laki dari suatu daerah kampung yang bernama Fusul, yang terletak dalam wilayah kota Ahsa dan menjarah harta milik mereka.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab wafat pada tahun 1206H. Setelah wafatnya, para pengikutnya meneruskan kebijaksanaan politik ini, Seperti yang terjadi pada. tahun 1216 H, Amir Saud, yang penganut Wahabi, memobilisasi suatu pasukan bersenjata dengan kekuatan 20.000 prajurit dan melakukan penyerangan ke kota Karbala.
Pada masa itu, Karbala menikmati kepopuleran dan kebesarannya. Para peziarah (Turis) dari kalangan bangsa Iran, Turki, dan Arab banyak berdatangan ke kota itu. Setelah melakukan pengepungan, Saud akhirnya berhasil masuk ke kota Karbala dan secara brutal menyembelih penduduk kota itu. Pasukan bersenjata kaum Wahabi telah menggoreskan sebuah aib di depan umum di kota Karbala, yang tak dapat diungkapkan dengan kata‑kata, di mana mereka telah membunuh lebih dari dua puluh ribu orang Muslim, sungguh angka yang sangat pantastis.
Amir Saud, dengan leluasa menjarah tempat penyimpanan barang-barang berharga dalam area kuburan suci Imam Husain as dan mengambil paksa serta merampas apa saja yang dia temukan di sana.
Sesudah peristiwa tersebut, situasi Karbala drastis berubah. Para pujangga meratapi peristiwa itu dengan menggubah syair‑syair elegi kesedihan. Selama lebih dari dua belas tahun, semenjak saat itu dan seterusnya, kaum Wahabi menyerang dan merampok kota Karbala serta daerah‑daerah pinggir kota, begitu juga kota Najaf. Invasi pertama seperti disebutkan di atas terjadi pada tahun 1216H. Menurut naskah‑naskah tulisan dari para penulis Islam Syi'ah, invasi itu terjadi pada Hari Raya alGhadir, hari perayaan memperingati pengangkatan Imam Ali as oleh Nabi Muhammad saw di Ghadir Khum sebagai pengganti khalifah.
Peristiwa ini dapat dlihat lebih dekat dari tulisan dalam buku yang sangat tinggi nilainya berjudul Miftah al‑Kiramahsebuah karya ilmu fikih yang terdiri dari beberapa jilid buku. Almarhum Al-alamah Sayid Muhammad Jawad Amili menulis, bahwa bagian dari bukunya itu diselesaikannya setelah tengah malam, pada hari ke‑9 bulan Ramadhan 1225 H dalam suasana kegelisahan serta prihatin, karena bangsa Arab Anizah yang merupakan kaum Wahabi sedang mengepung kota suci Najaf dan tempat Imam syahid Husain as, dimakamkan. Mereka memblokade jalan, merampas paksa harta milik para peziarah yang sedang menuju kuburan suci Imam Husain as. Setelah merampas harta pezarah, mereka kembali ke daerah asal mereka. Mereka membunuh secara tidak berperikemanusiaan sejumlah besar para peziarah, yang sebagian besar adalah para peziarah yang berasal dari Iran. Diyakini bahwa jumlah korban yang terbunuh pada masa itu mencapai seratus lima puluh orang, dan tentu saja angka ini jauh lebih kecil dari yang sebenarnya.
Ajaran Tauhid yang diyakini oleh Muhamad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya adalah, mengajak orang kepada hal yang tidak dapat diterima oleh nalar manusia, hal ini dimaksudkan agar mereka dapat dimungkinkan untuk menghabisi nyawa dan menyita harta milik orang yang tidak mau menerima konsep tauhidnya. Konsep tauhid Muhamad bin Abdul Wahab adalah pembuktian suatu aspek mengenai Allah Swt serta menganggap‑Nya bahwa Alla memiliki anggota‑anggota badan serta organ‑organ tubu, dengan menafsirkan secara dangkal sebagian ayat‑ayat al‑Quran serta hadis. Mengenai masalah ini, Alusi mencatat bahwa kaum Wahabi yang patuh kepada Ibnu Taimiyah membenarkan hadis‑hadis tentang Allah yang mengungkapkan turunnya Allah Swt ke surga‑surga.  Mereka berkata bahwa Allah Swt turun ke surga dari surga yang tertinggi dan berfirman: "Adakah orang yang memohon pengampunan atas dosa­dosanya?".
Dalam sikap yang sama, mereka juga mengakui bahwa pada Hari Kebangkitan, Allah Swt datang ke tempat di mana manusia dikumpulkan karena Dia sendiri yang telah berfirman, 'Dan Tuhan engkau datang dan (begitu juga) para malaikat dengan baris‑berbaris"(QS. al‑Fajr: 22).
Allah Swt dapat berpindah dekat ke salah satu dari ciptaan‑Nya dalam cara yang Dia sukai:

"... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehemya (Q5. Qaf. 16).
Sebagaimana yang diisyaratkan dalam bukunya yang berjudul AlRadd 'alal‑Akhna'iIbnu Taimiyah menganggap hadis‑hadis tentang ziarah ke tempat kuburan suci Rasulullah saw sebagai hadis palsu. Dia menunjukkan babwa adalah suatu kekeliruan yang serius bila orang berpikir babwa jasad Rasulullah saw setelah wafatnya sama seperti pada masa hidupnya.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan para pengikutnya telah mengungkapkan pernyataan yang sama dengan sikap yang lebih bersemangat dan berapi‑api. Keimanan dan pernyataan palsu dari kaum Wahabi ini telah mendorong beberapa orang (orentalis), yang telah mempelajari agama Islam dari sudut pandang mereka, untuk mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang keras dan kaku, dan karena itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman dalam sejarah kemanusiaan.
Seorang sarjana Amerika, Lothrop Stoddard, berkata: Kaum Wahabi telah menyimpang ekstrem sejauh hal yang berkenaan dengan praduga mereka.
Sementara itu sekelompok orang (misionaris non muslim) yang bertugas mencari bukti‑bukti kesalahan dan kelemahan kaum muslimin, menyatakan serta membeberkan serangkaian tindakan kaum Wahabi, seraya mereka menjastivikasi bahwa esensi dan sifat dasar agama Islam tidak cocok dengan tuntutan‑tuntutan dalam setiap zaman yang berbeda‑beda. Oleh karena itu Islam tidak dapat menyesuaikan diri dengan kemajuan serta evolusi masyarakat dan tidak dapat mengikuti perubahan zaman. Kleim ini jelas sangat merugikan umat Islam.
Sejak saat Syekh Muhamamad bin Abdul Wahab menyatakan pandangannya dan menyampaikan kepada orang untuk menerimanya, sekelompok besar para ulama terkemuka menyuarakan perlawanan terhadap keimanannya. Orang pertama yang menentang dengan sengit adalah ayahnya sendiri yaitu Abdul Wahab dan kemudian saudara lakilakinya Sulaiman bin Abdul Wahab. Keduanya bermazhab Hanbali. Syekh Sulaiman menyusun sebuah buku yang bejudul Ash‑Shawaiq al‑Ilahiyan fi Rad al‑Wahabiyyah yang isinya menyangkal dengan membuktikan kesalahan-kesalahan pandangan saudaranya (Muhamamad bin Abdul Wahab).
Ahmad Zaini Dahlan mengatakan:
Ayah Syekh Muhammad adn Sulaiman saudara laki‑lakinya Syekh Muhamad adalah seorang terpelajar yang salehjuga dianggap sebagai seorang ulama. Baik Syekh Abdul Wahab maupun Syekh Sulaiman, keduanya mencela Syekh Muhammad dan sejak awal telah memperingatkan masyarakat terhadap pandangan sekh Muhamad yang keliru. Bisa dikatakan sejak ketika Syekh Muhammad belajar di Madinah. Melalui kata‑kata Syekh Muhammad serta tindakan­ tindakannyalah mereka menyadari bahwa dia berambisi untuk menuntut klaim semacam itu.
Abbas Muhammad Aqad, seorang ulama. Mesir, berkata: Tantangan yang terbesar dari Syekh Muhamamad adalah saudaranya Syekh Sulaiman, penulis dari buku Ash‑Shawaiq al‑Ilahiyan, yang tidak mengakui saudaranya dalam posisi ijtihad dan pemahaman yang sahih atas al‑Quran dan Sunnah. Aqad juga menulis bahwa Syekh Sulaiman, sebagai lawan Syekh Muhammad yang terbesarSyekh Sulaiman mengatakan sebagai berikut sambil dengan sengitnya menyangkal pendapat - pendapat saudaranya. "Persoalan‑persoalan yang dianggap sebagai syirik dan kufur, yang digunakan sebagai dalil‑dalil untuk dapat memungkinkan mengambil nyawa dan harta milik kaum Muslim, terjadi pada masa aimmah (para pemimpin) Islam. Tetapi tidak seorang pun pernah mendengar atau meriwayatkan bahwa para pemimpin Islam melakukan perbuatan itu, atau mengatakan mereka sebagai orang kafir atau orang‑orang yang murtad kepada orang muslim. Tidak pernah juga, para pemimpin Islam mengeluarkan perintah jihad terhadap mereka. Dan tidak pernah juga mereka menamakan kota‑kota umat Islam sebagai kota‑kota kaum musyrik dan kaum kafir, sebagaimana yang engkau katakan."
Sebagai catatan yang harus diperhatikan, bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab bukan pelopor serta pembaharu dari keyakinan kaum Wahabi. Karena telah berabad‑abad sebelumnya, gagasan dan keyakinan seperti itu telah diungkapkan dalam istilah‑istilah yang berbeda oleh orang‑orang seperti Ibnu Taimiyah al‑Harrani serta muridnya Ibnu Qayyim. Sekalipun begitu, gagasan itu tidak berubah menjadi suatu ajaran dan tidak mendapatkan banyak pengikut.
Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim yang dikenal sebagai Ibnu Taimiyah, adalah seorang ulama mazhab Hanbali yang wafat pada tahun 728 H. Dia mengungkapkan pendapat dan keyakinannya yang berlawanan dengan pendapat yang diakui oleh semua mazhab dalam agama Islam, dan terus menerus mendapat tantangan dari para ulama yang lain.
Para peneliti memandang bahwa keyakinan Ibnu Taimiyah nantinya membentuk prinsip‑prinsip dasar keimanan para kaum Wahabi. Tatkala Ibn Taimiyyah menyampaikan pandangannya di depan umum dan menulis buku‑buku tentang keyakinannya, para ulama Islam yang diketuai oleh para ulama Islam Suni melakukan dua hal untuk mencegah kerusakan agama. Hal  ini dimaksudkan agar pendapat tersebut tidak dianggap sebagai hal yang umum serta lazim oleh umat Islam:
PertamaMereka mengkritik pendapat dan keyakinannya. Dalam soal ini kita akan merujuk kepada sebagian buku‑buku yang telah ditulis sebagai suatu bentuk kritikan terhadap keyakinan ibnu Taimiyah.
1
Syifa' as‑ Saqam fi Ziyarat al‑Qabr Khayr al‑Anam ditulis oleh Taqiyuddin Subki.
2
Ad‑Durrat al‑Mudhiyat fi ar‑Rad 'ala Ibn Taimiyyah ditulis oleh penulis yang sama.
3
AI‑Maqalat al‑Mardhiyyah, disusun oleh hakim tertinggi mazhab Maliki dengan nama Taqiyyuddin Abi Abdullah Akhna'i.
4
Najm al‑Muhtadi wa Rajm al‑Muqtadi ditulis oleh Fakhr bin Muhammad Qurasyi.
5
Dafa' asy‑Syubhah ditulis oleh Taqiyuddin Hasni.
6
At‑Tuhfat al‑Mukhtarah fi ar‑Rad 'ala Munkar al‑Ziyarah ditulis oleh Tajuddin.
Ini adalah serangkaian penyangkalan terhadap tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah. Dengan cara ini, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyah yang tidak memiliki dasar tampak jelas dan mudah terbantahkan.
Kedua Fatwa para fakih dan ulama Suni pada masa itu telah menuduh  Ibnu Taimiyah tidak bermoral, dan bahkan pada masa itu juga telah mengucilkan serta menyingkapkan praktik bid'ah yang dilkukan Ibnu Taimiyah.
Ketika pendapat Ibnu Taimiyah mengenai pergi berziarah ke kuburan suci Rasulullah saw dipaparkan dalam bentuk tulisan yang ditujukan kepada kadi tertinggi Mesir, Badr bin Jamaah, ia menulis kata‑kata sebagai berikut: "Pergi berziarah ke (kuburan suci) Rasulullah saw adalah perbuatan yang baik, sunnah dan seluruh ulama sepakat dengan suara bulat menyetujuinya".
Siapapun orangnya yang berpendapat, bahwa pergi berziarah ke kuburan suci Rasulullah saw bertentangan dengan hukum agama, maka harus diberi tindakan yang keras oleh para ulama, serta harus dilarang dari membuat pernyataan‑pernyataan seperti itu. Bilamana tindakan ini tidak efektif, maka pelakunya harus dipenjarakan serta diberitahu kepada khalayak luas agar umat Islam nanti tidak mengikuti ajarannya.( Pendapat dia ini bertentangan dengan pendapat dia sendiri sebelumnya).
Penolakan terhadap faham Ibnu Taimiyah bukan hanya dari fakih tertinggi dari Mazhab Syafi'i yang mengeluarkan pemyataan seperti itu, tetapi juga para fakih tertinggi dari Mazhab Maliki dan Hambali di Mesir juga membenarkan pemyataan ini dalam cara‑caranya masing‑masing. Untuk lebih detailnya, Anda dapat merujuk kepada kitab Dafa asy‑Syubhah yang ditulis oleh Taqiyuddin Hasni.
Selain daripada itu, penulis yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah, Dzahabi seorang penulis besar pada abad ke‑8 Hijrah dan telah menulis karya‑karya berharga tentang sejarah dan biografi telah mengirim sepucuk surat kepada Ibnu Taimiyah, beliau menyarankan agar Ibnu Taimiyah dengan tulisannya Hajjaj Tsaqafi agar memperhatikan penyebaran penyelewengan dan penyimpangan yang telah dilakukannya. Surat itu telah dicatat oleh penulis dari Takmalah as‑Sayf as‑Sayqal pada halanian 190 dalam bukunya. Almarhum Al-alamah Amini juga mengaitkan teks dari surat itu pada jilid kelima dalam. buku Al‑Ghadir halaman 87‑88. Bagi yang berminat silahkan merujuk kepada buku‑buku itu.
Ketika Ibnu Taimiyah wafat pada tahun 728 H di dalam. penjara Damaskus, gerakannya cenderung menurun. Lewat seorang muridnya yang terkenal Ibnu Qayyini, dia mulai terjun melakukan propaganda pandangan pandangan gurunya, dan kemudian tidak ada jejak‑jejak tentang keyakinan dan gagasan itu yang tersisa pada periode‑periode berikutnya.
Akan tetapi manakala putra Abdul Wahab itu berada di bawah pengaruh keyakinan Ibnu Taimiyah dan ketika Sa'ud memberi dukungan kepadanya untuk memperkuat fondasi kekuasaan mereka sendiri atas wilayah Najd, sekali lagi praktik bid'ah dari ajaran‑ajaran Ibnu Taimiyyah bertunas dalam pemikiran sejumlah orang di Najd.
Dalam kelemahan prasangka yang kaku dan sayangnya mangatas namakan tauhid, suatu peristiwa mandi darah timbul mencuat di bawah nama jihad terhadap kaum kafir dan kaum yang syirik. Sepuluh ribu laki‑laki, perempuan dan anak‑anak dikorbankan untuk itu.
Wahabi adalah satu sekte baru tiba‑tiba berkembang dalam komunitas Muslim. Rasa sesal muncul saat terbentuknya kekuasaan Haramain Syarifain (pelindung dua tempat suci) yang ditempatkan di bawah kepe­milikan kelompok ini, sebagai hasil dari bentuk kompromi dengan Inggris dan negara‑negara adikuasa lainnya pada masa itu. Juga disebabkan oleh bubarnya Khilafah Utsmani, serta pembagian negara‑negara Arab di Antara kalangan negara adikuasa, kaum Wahabi yang berasal dari Najd mendapatkan pasilitas  menguasai daerah Makkah dan Madinah, begitu juga dengan peninggalan Islam. Mereka mengerahkan seluruh daya usaha dalam menghancurkan makam‑makam para wali Allah, dan dalam pelanggaran dengan penghinaan terhadap keturunan Nabi saw dengan meruntuhkan kuburan‑kuburan mereka dan peninggalan‑peninggalan sejarah yang berkaitan kepada mereka.
Pada saat itu, para ulama Syi'ah bersama‑sama para ulama Suni, sebagaimana telah kami sebutkan di muka, berusaha sangat keras mengkritik pandangan‑pandangan Abdul Wahab. Kedua kelompok memulai jihad ilmu dan logika dalam sikap yang sebaik mungkin.
Penyangkalan pertama yang ditulis para ulama Suni atas pandangan­-pandangan Muhammad Abdul Wahab adalah buku yang berjudul Ash­ Shawaiq al‑Ilahiyyah fi Radd 'ala' al- Wahabiyyah oleh Sulaiman bin Abdul Wahab, saudara Muhammad bin Abdul WAhab.
Buku pertama yang ditulis para ulama Syi'ah untuk menyangkal pandangan Muhammad bin Abdul Wahab adalah Manhaj ar‑Rasyad ditulis oleh almarhum yang sangat dihormati Syekh Jafar Kasyif al‑Ghitha yang wafat pada tahun 1228 H. Dia menulis buku ini sebagai jawaban kepada risalah yang berasal dari salah seorang amir di antara Dinasti Saud yang bernama Abdul Aziz bin Saud yang dikirim kepadanya.
Dalam risalah itu, Abdul Aziz bin Saud telah mengumpulkan semua pandang­an Muhammad bin Abdul Wahab dan mencoba membuktikan semua pandangan tersebut dari al‑Quran dan Sunah. Buku ini diterbitkan pada 1343 H di Najad. Setelah terbitnya karya yang terkemuka ini, banyak kritik keilmuan ditulis mengenai kesesuaian gerakan‑gerakan Wahabi di daerah itu. Sebagian besar buku‑buku ini telah diterbitkan. Tetapi sekarang, gerakan‑gerakan Wahabi semakin berkembang sebagai hasil dari kemakmuran yang berlimpah ruah yang dihimpun dinasti kerajaan Saud dengancara menjual minyak. Setiap hari, setiap bulan Abu Jahal dan Abu Lahab modern yang telah mengambil alih dalam mengendalikan Ka'bah, melakukan serangan terhadap tempat‑tempat suci dalam berbagai cara. Setiap hari bekas‑bekas peninggalan sejarah Islam dihancurkan. Sesuatu yang memberi dorongan kepada gerakan mereka adalah kode‑kode rahasia dan restu yang diberikan oleh majikan‑majikan Barat mereka, yang sangat dicemaskan oleh persatuan umat Islam. Rasa takut mereka terhadap persatuan Islam ini lebih dari ketakutan mereka terhadap komunis internasional.
Dalam memporak porandakan umat Islam sehingga tidak bisa bersatu, kalangan Barat berusaha memperkokoh faham wahabi, karena faham wahabi yang paling mungkin untuk dijadikan kedok dalam memusnahkan bukti-bukti sejarah dan budaya luhur umat Islam. Mereka menghambur‑hamburkan uang, yang mereka bayarkan kepada pemerintahan Wahabi demi minyak, dan pada akhirnya, menghalang‑halangi persatuan umat Islam dan menggiring mereka untuk saling menuding sebagai tidak bermoral, serta saling mengucil­kan diri mereka.
Penolakan Nahdlatul Ulama terhadap Wahabi kini sangat jelas, disamping mayoritas umat Islam dikalangan suni dan si'ah menolak, penolakan NU juga dimaksudkan untuk menyingkapkan pendapat-­pendapat mereka dan menghilangkan kendala‑kendala berkenaan dengan paham Wahabi. NU akan membuka tirai gelap keraguan dan berharap menjernihkan fakta‑fakta bahwa kepercayaan seluruh umat Islam sedunia, berasal dari Kitab Suci dan Sunnah yang diberkati, dan bahwasanya gerakan‑gerakan serta tindakan‑tindakan dari paham Wahabi bertentangan dengan al‑Quran dan Sunnah Rasulullah saw dan juga bertentangan dengan tabiat manusia.
Untuk mempermudah mengenali ajaran wahabi, perlu kiranya penulis memberi catatan kecil mengenai ciri-ciri ajaran Wahabi.
1
Adanya pemaksaan kehendak tentang faham atau keyakinan yang diyakini sepihak kebenarannya.
2
Menganggap sesat, bid'ah bahkan mangkafirkan orang yang berbeda faham dengan faham yang diyakininya.
3
Bersifat agresif, tidak kompromistis dan ingin menang sendiri dalam diskusi mencari pendekatan kebenaran.
4
Bersifat sombong, angkuh dan congkak, seolah yang benar hanya kelompok dia saja, yang lain semua salah. Mereka menyangka surga milik nenek noyangnya, sehingga yang lain tidak boleh masuk.
5
Berbicara atas nama Tauhid, pembaharuan dan pelurusan ajaran dari kurafat.
6
Berlaga jadi mujtahid sehingga tidak mau mengikuti madzhab, padahal wawasan keilmuaannya sangat dangkal.
7
Mentafsirkan Al-Qur'an dan Al-Hadis sekehendak sendiri tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa dan kaidah kaidah usuliyah, sehingga maqosidus syar'I tidak diperhatikan.
8
Fahamnya menyalahi / bertentangan dengan faham salafus sholihin.
9
Haus kekuasaan dan menjadikan agama sebagai alat politik (politisasi agama).
10
Menghalalkan jiwa dan harta umat islam yang berbeda keyakinan dengannya.
11
Tidak menghargai kultur budaya lokal, sehingga budaya tidak boleh memasuki wilayah agama.
12
Tidak mengakui perbedaan sebagai sebuah sunatullah, sehingga perbedaan dianggap salah.
13
Memposisikan diri menjadi hakim yang menghukumi perbuatan orang lain, padahal hanya Allah lah yang akan menjadi hakim.
14
Tidak menghargai sifat-sifat kemanusiaan yang dijungjung tinggi dan dilindungi keberadaannya oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.



No comments:

Post a Comment