Thursday, March 17, 2011

BAB III NU DISIGN MAKER POLITIK





 BAB III SEJARAH BERDIRINYA NU



Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu membantu dan keseia sekataan merupakan persyaratan dari tumbuhnya persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.
Pembentukan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, merupakan akomodasi atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultur telah eksis sebelum abad dua puluhan. Namun secara sosial politik, peran ulama-ulama pesantren kurang diperhitungkan, baik oleh Belanda sebagai penjajah, maupun oleh kalangan Islam Modern itu sendiri, kelompok ulama pesantren hanya dianggap mampu bergerak dibidang pendidikan ansich,( M. Imdadun Rahmat.Kritik Nalar Fiqh NU Tranformasi Paradigma Batsul Masa’il. (Jakarta: LAKPESDAM. Ed 1 Agustus 2002))
Kenyataan ini yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Islamiah yang mewadahi ulama-ulama tradisional. Hal lain yang mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama, adalah bentuk keinsapan para ulama tradisional untuk mempersatukan kekuatan sehingga menjadi benteng yang kokoh dalam membela dan mempertahankan ajaran Islam Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah (Drs.H.M.Solihin Identitas NU Faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. CV.Mitra Usaha Mandiri Karawang 2001).
Menurut Fajrul Falakh, sedikitnya ada tiga alasan berdirinya Nahdlatul Ulama; Pertama, aksi cultural untuk bangsa, kedua aktifitas yang mencerminkan dinamika dan kreatifitas kaum muda dan ketiga adalah usaha ekonomi kerakyatan dan keprihatinan keagamaan Internasional (Muhammad Fajrul Falkh “Jamiyyah NU, Lampau, Kini dan Datang” dalam Gus Dur NU dan Masyarakat sipil, ed.KH.Darwis (Yogyakarta:LkiS,1994)
Keprihatinan terhadap kondisi keagamaan Internasional terutama ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yaknimazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari keum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah Pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bahwah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya kalangan pesantren yang selama ini membela keberagamaan, menolak pembatasa bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta tahun1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan  kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, pada bulan Januari 1926,  yang diketuai oleh KH Wahab Hasbullah. Komite Hejaz bertugas mengirimkan delegasi ke Makkah dan menghubungi para ulama terkemuka di seluruh Jawa dan Madura.
Tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang para ulama terkemuka untuk membicarakan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Makkah. Terpilih sebagai delegasi KH. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz . Ketika utusan telah ditetapkan timbul pertanyaan siapa dan atau intitusi apa yang berhak mengirim KH. Raden Asnawi ? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama, pada waktu dan tempat itu juga. (16 Rojab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926). Kenyataan inilah  yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Islamiah yang mewadahi ulama-ulama tradisional.
Aktipitas pertama Nahdltul Ulama sebagai Organisasi adalah mengutus delegasi untuk menemui Raja Ibnu Sa’ud untuk menyampaikan tuntutan, delegasi yang diberangkatkan adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanaim Al-Amiri Al-Mishri. Adapun materi tuntutan yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Sa’ud adalah sebagai berikut:
1
Meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud  untuk tetap memberlakukan  kebebasan bermazhab empat: Maliki. Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
2
Memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk mesjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizuran dan lain-lain.
3
Mohon agar disebar luaskan keseluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal-ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang syekh.
4
Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.
5
Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul Nahdlatul Ulama tersebut.( Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Bisma satu Surabaya 1999))
Pendirian NU sebagai Jamiyyah dan mengirim delegasi ke Makkah, merupakan kegiatan  politik kaum tradisional yang secara jelas-jelas ingin memperlihatkan jati dirinya, bahwa kaum tradisional mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka yang mengaku kaum Islam Modernis.
Sejarah membuktikan, kegigihan kaum tradisional dalam memperlihatkan eksistensi dan jatidirinya, walaupun di cap kampungan, sarungan, ortodok, kolot dan berbagai label lain yang bersifat menghina, ternyata kaum tradisional telah banyak memainkan peran politik di Negara tercinta ini, sehingga Indonesia menjadi Negara yang berdaulat.
Kegiatan politik bagi NU tidak dimaksudkan politik kekuasaan, melainkan politik moral, sebab politik moral  itu akan lebih berguna kalau dimanfaatkan sebagai modal untuk mempengaruhi kekuasaan yang ada dalam menentukan kebijakan. Disamping itu politik moral dapat digunakan untuk menjembatani munculnya konflik interest antara berbagai lembaga politik yang ada.
Memang dalam jangka pendek, pilihan politik moral tidak membawa keuntungan yang berarti, tetapi dalam jangka panjang sangat menguntungkan, sebab dengan demikian akan bisa turut menata sistem politik ke depan dan sekaligus bisa mendewasakan politik rakyat, akhirnya rakyat bisa melakukan pilihan sendiri dan bisa mengontrol lembaga politik dan penguasa.
Sikap politik bebas aktif yang dijalankan NU dalam mempengaruhi kebijakan Internasonal (Khususnya mempengaruhi kebijakan kerajaan Saudi Arabia dalam menerapkan kebijakan bermazhab), ternyata cukup efektif, sehingga kerajaan Saudi Arabiya memberikan kebebasab bermazhab dalam melaksanakan ibadah.
Politik moral (akhlaqul karimah) yang dijalankan NU, berimbas pada kebijakan politik nasional. Sehingga bagi warga NU bebas berpolitik dan menentukan pilihannya sendiri, karena politik demokratis mengandalkan adanya stelsel individu dalam berpolitik. dengan demikian NU bisa mengayomi keseluruhan masyarakat, baik warga NU maupun bukan, sikap seperti ini dimaksudkan agar tidak terjebak dalam sekat ideologi politik tertentu.
Peran-peran mediasi yang dilakukan NU itu sangat diperlukan, sebab selama ini NU telah dikenal sebagai komunitas yang mampu menjembatani berbagai ketegangan bahkan konflik sosial dan politik yang muncul. Peran itu akan hilang kalau NU berubah menjadi kekuatan politik formal, karena akhirnya NU menjadi ormas biasa, yang memperebutkan hal-hal yang bersifat pragmatis dan duniawi, sementara cita-cita NU lebih luas dari sekedar itu.
Para pendiri NU dengan susah payah membangun pondasi bangunan NU, dengan harapan Kaum santri (warga NU) dapat  ikut serta membangun dan mengembangkan insane dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, adil dan makmur, sehingga kesejahtraan lahir dan batin mudah dicapai. 


No comments:

Post a Comment