Thursday, March 17, 2011

BAB II NU DISIGN MAKER POLITIK




BAB II
MENENAL, MEMAHAMI, DAN MENCINTAI NU 


PENGERTIAN
Nahdlatul Ulama yang disingkat NU adalah organisasi sosial keagamaan (Jam'iyah diniyah Islamiyah), bukan Partai Politik. Hal ini perlu ditegaskan, karena masih banyak orang yang menganggap NU sebagai Partai Politik.
Kata Nahdlatul Ulama merupakan rangkaian dua kata Bahasa Arab, yang terdiri dari kata Nahdlah dan kata Ulama. Nahdlah artinya kebangkitan, sedang kata Ulama adalah bentuk jamak dari kata Alimun yang artinya orang berilmu (cendikiawan).
Dalam pengertian yang lebih spesifikasi kata ulama diartikan orang yang menguasai (ahli) ilmu agama. Dalam Al-Qur'an kata ulama termaktub dalam surat Faathir ayat 28.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (28)
قال تعالى "إنما يخشى الله من عباده العلماء" أي إنما يخشاه حق خشيته العلماء العارفون به لأنه كلما كانت المعرفة للعظيم القدير العليم الموصوف بصفات الكمال المنعوت بالأسماء الحسنى كلما كانت المعرفة به أتم والعلم به أكمل كانت الخشية له أعظم وأكثر. قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس في قوله تعالى: "إنما يخشى الله من عباده العلماء" قال الذين يعلمون أن الله على كل شيء قدير". وقال ابن لهيعة عن ابن أبي عمرة عن عكرمة عن ابن عباس قال:العالم بالرحمن من عباده من لم يشرك شيئا وأحل حلاله وحرم حرامه وحفظ وصيته وأيقن أنه ملاقيه ومحاسب بعمله وقال سعيد بن جبير الخشية هي التي تحول بينك وبين معصية الله عز وجل وقال الحسن البصري العالم من خشي الرحمن بالغيب ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله فيه ثم تلا الحسن "إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور" وعن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال: ليس العلم عن كثرة الحديث ولكن العلم عن كثرة الخشية. وقال أحمد بن صالح المصري عن ابن وهب عن مالك قال: إن العلم ليس بكثرة الرواية وإنما العلم نور يجعله الله في القلب. قال أحمد بن صالح المصري معناه أن الخشية لا تدرك بكثرة الرواية وإنما العلم الذي فرض الله عز وجل أن يتبع فإنما هو الكتاب والسنة وما جاء عن الصحابة رضي الله عنهم ومن بعدهم من أئمة المسلمين فهذا لا يدرك إلا بالرواية ويكون تأويل قوله: نور يريد به فهم العلم ومعرفة معانيه. وقال سفيان الثوري عن أبي حيان التيمي عن رجل قال: كان يقال العلماء ثلاثة عالم بالله عالم بأمر الله وعالم بالله ليس بعالم بأمر الله وعالم بأمر الله ليس بعالم بالله; فالعالم بالله وبأمر الله الذي يخشى الله تعالى ويعلم الحدود والفرائض والعالم بالله ليس بعالم بأمر الله الذي يخشى الله ولا يعلم الحدود والفرئض والعالم بأمر الله ليس بعالم بالله الذي يعلم الحدود والفرائض ولا يخشى الله عز وجل. تفسير ابن كثير - (ج 6 / ص 544)
"Allah SWT berfirman : Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama". Artinya : Sesungguhnya orang yang sangat takut kepada Allah hanyalah ulama yang amat mengenal-Nya karena ketika pengetahuan tentang Allah Yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Yang Disifati dengan Kemuliaan sebagaimana dalam Asma'ul Husna telah lengkap dan ilmu tentang-Nya telah sempurna maka rasa takut kepada-Nya menjadi besar.
 Ali bin Abi Tholhah menerangkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata tentang maksud ulama dalam ayat tersebut adalah : "Orang – orang yang meyakini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Ibnul Hai'ah berkata : (aku terima riwayat) dari Ibnu Abi Amroh dari Ikrimah dari Ibnu Abbas (Ibnu Abbas berkata): "Diantara hamba – hamba Allah yang disebut 'alim adalah orang yang tidak menyekutukan Allah, menghalalkan apa yang Allah halalkan, mengharamkan apa yang Allah haramkan, menjaga washiyat-Nya dan meyakini bahwa dia akan menemui-Nya dan Allah pasti menghisab amalnya."
Sa'id bin Jabir berkata : "Al khosyah (rasa takut) adalah sesuatu yang menghalangi engkau dari bermaksiat kepada Allah."
Hasan Al Bashri berkata : "Orang 'alim adalah orang yang takut kepada Allah, menyenangi apa yang Allah senangi dan menahan diri dari perkara – perkara yang Allah murkai." Kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut.
Ibnu Mas'ud berkata : "Bukanlah yang dimaksud dengan ilmu itu dengan banyaknya periwayatan hadits tetapi yang dimaksud dengan ilmu itu adalah banyaknya rasa takut kepada Allah."
Ahmad bin Sholih Al Mishri berkata : Dari Ibnu Wahab, dari Malik : "Bukanlah yang dimaksud dengan ilmu itu dengan banyaknya periwayatan hadits tetapi yang dimaksud dengan ilmu itu adalah cahaya yang Allah tetapkan didalam hati seseorang."
Ahmad bin Sholih Al Mishri menerangkan bahwa makna kalimat diatas adalah bahwa rasa takut tidak dapat ditemukan dengan cara banyak meriwayatkan hadits tetapi yang dimaksud dengan ilmu itu adalah sesuatu yang Allah wajibkan untuk diikuti, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah dan apa – apa yang datang dari para sahabat, dari para tabi'in dan dari para pemimpin(ulama)  ummat Islam. Dan hal tersebut tidak dapat diperoleh melalui periwayatan. Sedangkan makna kata "cahaya" dari kalimat diatas adalah ; memahami ilmu dan mengetahui makna – maknanya.
Sufyan Ats Tsauri menerima  dari Abi Hayyan, dari seseorang : "Ulama dibagi tiga bagian, yaitu Ulama yang memiliki ilmu tentang Allah serta mengetahui perintahnya, ulama yang  memiliki ilmu tentang Allah namun tidak mengetahui perintah-Nya dan ulama yang mengetahui tentang perintah Allah tetapi tidak memiliki ilmu tentang Allah.
Ulama yang memiliki ilmu tentang Allah serta mengetahui perintahnya itulah ulama yang takut kepada Allah serta mengetahui tentang aturan yang Allah tetapkan serta kewajiban yang Allah perintahkan. Ulama yang  memiliki ilmu tentang Allah namun tidak mengetahui perintah-Nya adalah ulama yang takut kepada Allah namun tidak  mengetahui tentang aturan yang Allah tetapkan serta kewajiban yang Allah perintahkan. Ulama yang mengetahui tentang perintah Allah tetapi tidak memiliki ilmu tentang Allah adalah ulama yang mengetahui tentang aturan yang Allah tetapkan serta kewajiban yang Allah perintahkan namun tidak takut kepada Allah.

Pengertian kata ulama dalam rangkaian kata Nahdlatul Ulama adalah orang ahli agama, karena kepandaiannya terhadap ilmu agama, maka dia sangat takut kepada Allah.
Dengan kalimat yang sederhana, Nahdlatul Ulama dapat diartikan Kebangkitan Cendikiawan Muslim.
Yang harus difahami, bahwa "kebangkitan dimaknai sebagai sebuah gerakan yang terencana, terukur, terarah, kontinyu (terus menerus) untuk melakukan perubahan menuju tatanan nilai yang lebih baik dan lebih sempurna". 
Kebangkitan cendikiawan muslim dimaksudkan untuk merubah kondisi masyarakat dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, penjajahan dan ketidak berdayaan, munuju masyarakat maju mandiri, sejahtra lahir dan batin, serta mampu mengejewantahkan nilai-nilai kemanusiaan dimuka bumi. Sehingga demikian cita-cinta pendirian Nahdlatul Ulama adalah terjadinya perubahan menuju manusia yang berilmu amalian, beramal ilmiah dan berakhlakul karimah.
Untuk mewujudkan itu semua, para ulama tradisional, memandang perlu dibuatnya suatu organisasi yang mewadahi, sekaligus tempat berhimpun para ulama dan berbagai kalangan masyarakat, sehingga dari pergumbulan tersebut terjadi transpormasi nilai, yang dalam ilmu manajemen organisasi disebut dengan pengaruh organisasi terhadap prilaku individu.
Pergaulan dengan Ulama sebagai kaum terpelajar, akan menularkan sikap baik yang menjadi motivasi bagi masyarakat untuk melakukan perubahan didalam diri masing-masing, sehingga jiwa dan semangat masyarakat menjadi progresif dan revolusioner.
Perubahan wawasan keilmuan yang ditularkan lewat pergaulan dan pergumbulan dengan kalangan Ulama, pada gilirannya akan menjadi sikap dan prilaku hidup masyarakat sehari-hari.
Definisi
Nahdlatul Ulama didefinisikan sebagai Jam'iyah Diniyyah Islamiyah Ahlussunah Wal Jama'ah ( Organisasi Keagamaan Islam Ahlussunah Wal Jama'ah).( Choirul Anam :1999)
Dengan demikian Nahdlatul Ulama diartikan sebagai sebuah Organisasi gerakan kebangkitan Islam tradisional yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama'ah.
Untuk memahmi lebih jauh mengenai Organisai Nahdlatul Ulama, perlu kiranya penulis memaparkan: Siapa pendirinya, bagaimana sejarah pendiriannya, apa asasnya, untuk apa organisasi tersebut didirikan dan apa manfaatnya masuk organisasi tersebut.
Langkah awal mengenal NU, penulis memandang perlu menyampaikan QAANUUNIL ASAASY yang ditulis langsung oleh Hadrotu Syekh KH. Hasyim As'ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama.
Pengertian kata ulama dalam rangkaian kata Nahdlatul Ulama adalah orang ahli agama, karena kepandaiannya terhadap ilmu agama, maka dia sangat takut kepada Allah.
Dengan kalimat yang sederhana, Nahdlatul Ulama dapat diartikan Kebangkitan Cendikiawan Muslim.
Yang harus difahami, bahwa "kebangkitan dimaknai sebagai sebuah gerakan yang terencana, terukur, terarah, kontinyu (terus menerus) untuk melakukan perubahan menuju tatanan nilai yang lebih baik dan lebih sempurna". 
Kebangkitan cendikiawan muslim dimaksudkan untuk merubah kondisi masyarakat dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, penjajahan dan ketidak berdayaan, munuju masyarakat maju mandiri, sejahtra lahir dan batin, serta mampu mengejewantahkan nilai-nilai kemanusiaan dimuka bumi. Sehingga demikian cita-cinta pendirian Nahdlatul Ulama adalah terjadinya perubahan menuju manusia yang berilmu amalian, beramal ilmiah dan berakhlakul karimah.
Untuk mewujudkan itu semua, para ulama tradisional, memandang perlu dibuatnya suatu organisasi yang mewadahi, sekaligus tempat berhimpun para ulama dan berbagai kalangan masyarakat, sehingga dari pergumbulan tersebut terjadi transpormasi nilai, yang dalam ilmu manajemen organisasi disebut dengan pengaruh organisasi terhadap prilaku individu.
Pergaulan dengan Ulama sebagai kaum terpelajar, akan menularkan sikap baik yang menjadi motivasi bagi masyarakat untuk melakukan perubahan didalam diri masing-masing, sehingga jiwa dan semangat masyarakat menjadi progresif dan revolusioner.
Perubahan wawasan keilmuan yang ditularkan lewat pergaulan dan pergumbulan dengan kalangan Ulama, pada gilirannya akan menjadi sikap dan prilaku hidup masyarakat sehari-hari.
Definisi
Nahdlatul Ulama didefinisikan sebagai Jam'iyah Diniyyah Islamiyah Ahlussunah Wal Jama'ah ( Organisasi Keagamaan Islam Ahlussunah Wal Jama'ah).( Choirul Anam :1999)
Dengan demikian Nahdlatul Ulama diartikan sebagai sebuah Organisasi gerakan kebangkitan Islam tradisional yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama'ah.
Untuk memahmi lebih jauh mengenai Organisai Nahdlatul Ulama, perlu kiranya penulis memaparkan: Siapa pendirinya, bagaimana sejarah pendiriannya, apa asasnya, untuk apa organisasi tersebut didirikan dan apa manfaatnya masuk organisasi tersebut.
Langkah awal mengenal NU, penulis memandang perlu menyampaikan QAANUUNIL ASAASY yang ditulis langsung oleh Hadrotu Syekh KH. Hasyim As'ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama.


MUKADDIMAH AL QAANUUNIL ASAASY
Oleh: KH. M. Hasyim Asy'ari [Rois Akbar Jamiyyah NU]


Segala puji bagi Allah Swt yang telah menurunkan AI‑Ouran kepada hamba‑Nya agar menjadi pembeda, peringatan kepada sekalian ummat dan menganugerahinya hikmah serta ilmu tentang sesuatu yang la kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah maka benar‑benar mendapat keberuntungan yang melimpah.
Allah ta'ala berfirman (yang artinya) :
"Wahai Nabi, Aku utus engkau sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan penyeru kepada (agama) Allah serta sebagai pelita yang menyinari. "
"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik, Sungguh Tuhanmulah yang Maha Mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dia Maha Mengetahui orang‑orang yang mendapat hidayahNya. "
"Maka berilah kabar gembira hamba‑hambaKu yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik darinya. Merekalah orang‑orang yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang‑orang yang mempunyai akal.."
"Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tak beranakkan seorang anak pun, tak mempunyai sekutu maupun penolong karena ketidak mampuan. Dan agungkanlah Dia seagung‑agungnya."
"Dan sesungguhnya inilah jalan Ku (agamaKu) yang lurus; maka ikutilah Dia dan jangan ikuti berbagai jalan (yang lain), nanti akan mencerai‑beraikan kamu dari jalanNya. Demikianlah Allah memerintahkanmu agar kamu semua bertaqwa."
"Wahai orang‑orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kamu; kemudian jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, kalau kamu benar‑benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik kesudahannya."
"Maka orang‑orang yang beriman kepadanya (kepada Rasulullah), memuliakannyamembantunya dan mengikuti cahaya (AI‑Ouran) yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang‑orang yang beruntung."
"Dan orang‑orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) berdo'a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara‑saudara kami yang telah mendahului kami beriman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang‑orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
"Wahai manusia, sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa‑bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah di antara kamu semua."
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba‑hambaNya hanyalah ulama."
"Di antara orang‑orang mu'min ada orang‑orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; Ialu di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada yang menunggu. Mereka sama sekali tidak mengubah (janjinya)."

Wahai orang‑orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan beradalah kamu bersama orang­orang yang jujur."
"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu."
"Maka bertanyalah kamu kepada orang‑orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui."
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya."
"Adapun orang‑orang yang dalam hati mereka terdapat kecenderungan menyeleweng maka mereka mengikuti ayat‑ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan mencari‑cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui, ta'wilnya kecuali Allah. Sedang orang‑orang yang mendalam ilmunya mereka mengatakan: 'Kami beriman kepada ayat‑ayat mutasyaabihaat itu, semuanya dari sisi Tuhan kami,' Dan orang‑orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya)."
"Barangsiapa menentang Rasul setelah petunjuk jelas padanya dan dia mengikuti selain ajaran orang‑orang mumin maka Aku biarkan ia menquasai kesesatan yang telah dikuasainya (terus bergelimang dalam kesesatan) dan Aku masukkan ia ke neraka jahanam. Dan neraka Jahanam itu adalah seburuk‑buruknya tempat kembali."
"Takutiah kamu semua akan fitnah yang benar‑benar tidak hanya khusus menimpa orang‑orang yang dzalim di antara kami. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat dahsyat siksaNya."
"Janganlah kamu bersandar kepada orang‑orang yang dzalim, maka kamu akan disentuh api neraka."
Wahai orang‑orang yang beriman, jagalah diri‑diri kamu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, di atasnya berdiri malaikat-malaikat yang kasar, keras yang tidak prnah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka."
"Dan janganlah kamu seperti orang‑orang yang mengatakan 'Kami mendenger', padahal mereka tidak mendengar."
"Sesungguhnya seburuk‑buruk makhluk melata, menurut Allah, ialah mereka yang pekak (tidak mau mendengarkan kebenaran) dan bisu (tidak mau bertanya dan menuturkan kebenaran) yang tidak berpikir "
"Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah kemungkaran. Dan mereka itulah orang‑orang yang beruntung."
"Dan saling tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; janganlah tolong‑menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat dahsyat siksaNya."
"Wahai orang‑orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuat‑kuatkanlah kesabaranmu serta berjaga‑jagalah (menghadapi serangan musuh di perbatasan negerimu), dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan."
"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai‑berai, den ingatlah ni'mat Allah yang dilimpahkan kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan Ialu Allah merukunkan antara hati‑hati kamu, kemudian kamu pun (karena nikmatNya) menjadi orang‑orang yang bersaudara."
"Dan janganiah kamu saling bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang kekuatanmu dan tabahlah kamu, sesungguhnya Allah bersama orang‑orang yang tabah."
"Sesungguhnya orang‑orang mu'min itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu dirahmati. "
"Kalaulah mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka, niscaya akan lebih baik bagi mereka dan lebih memperkokoh (iman mereka). Dan kalau demikian, niscaya Aku anugerahkan kepada mereka pahala yang agung dan Aku tunjukkan mereka jalan  yang lurus."
"Dan orang yang berjihad dalam (mencari keridlaan)Ku, pasti Aku tunjukkan mereka jalanKu; sesungguhnya Allah benar‑benar bersama orang‑orang yang berbuat bak."
"Sesungguhnya Allah dan malaikat‑malaikat bershalawat untuk Nabi, Wahai orang‑orang yang beriman bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kepadanya dengan penuh penghormatan."
"Dan (apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal juga bagi) orang‑orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, mendirikan shalat dan urusan mereka (mereka selesaikan) secara musyawarah antara mereka serta terhadap sebagian apa yang Aku rezekikan, mereka menafkahkannya."
"           ......      Dan orang‑orang yang mengikuti jejak mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik maka Allah ridla kepada mereka."
Amma Ba'du.
Sesunggunya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan hal yang tidak seorangpun tidak mengetahui manfaatnya. Betapa tidak, Rasulullah saw benar‑benar telah bersabda yang artinya:
"Tangan Allah bersama jamaah. Apabila di antara jamaah itu ada yang memencil sendiri, maka syathon pun akan menerkamnya seperti haInya serigala menerkam kambing."
"Allah ridla kamu sekalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun."
Kamu sekalian berpegang‑teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan tidak bercerai‑berai;
Kamu saling memperbaiki dengan orang yang dijadikan Allah sebagai pemimpin kamu.
Dan Allah membenci kamu; saling berbantah; banyaktanya; dan menyia‑nyiakan harta benda.
"Janganlah kamu saling dengki, saling menjerumuskan, saling bermusuhan, saling membelakangi dan janganlah sebagian kamu menjual atas kerugian jualan sebagian yang lain dan jadilah kamu, hamba‑hamba Allah, bersaudara."
Suatu umat bagaikan jasad lainnya, orang‑perorangannya ibarat anggota‑anggota tubuhnya, setiap anggota punya tugas dan perannya, di mana jasad tak bisa mengabaikannya.
Seperti dima'lumi, manusia tidak dapat tidak bermasyarakat, bercampur dengan yang lain, sebab seseorang tak mungkin sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menotak keburukan dan ancaman bahaya daripadanya.
Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani suatu perkara dan sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi terciptanya persaudaman dan kasih sayang.
Berapa banyak negara‑negara yang menjadi ma'mur, hamba‑hamba menjadi pemimpin maju, pemerintahan‑pemerintahan ditegakkan, jalan‑jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai, dan masih banyak lagi manfaat‑manfaat lain hasil dari persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.
Rasulullah saw telah mempersaudarakan sahabat‑sahabatnya, sehingga mereka (saling kasih, saling menyayangi dan saling menjaga hubungan) tak ubahnya satu jasad, apabiia salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad ikut merasa demam dan tak dapat tidur.
ltulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit. Mereka tundukkan raja‑raja. Mereka taklukkan negeri‑negeri. Mereka buka kota‑kota. Mereka bentangkan payung‑payung kemakmuran. Mereka bangun kerajaan‑kerajaan. Dan mereka lancarkan jalan‑jalan.
Firman AllahWa aatainaahu min kulli syai'in sababa. "Dan Aku telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu."
Benarlah kata penyair yang mengatakan dengan bagusnya:
berhimpunlah anak‑anakku bila; Kegentingan datang melanda
Jangan bercerai‑berai sendiri-sendiri; Kawan-kawanpun enggan pecah bila bersama.
Ketika bercerai; Satu‑satu pecah berderai
Sayyidina Ali karramallahu wajha berkata:
"Dengan perpecahan tak ada suatu kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang, baik dari orang‑orang terdahulu maupun orang‑orang yang datang belakangan." Sebab, suatu kaum apabila hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tak akan melihat suatu tempatpun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukahlah bangsa yang bersatu, tapi hanya individu­-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan‑keinginan mereka saling berselisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati‑hati mereka berbeda‑beda.
Mereka telah menjadi seperti kata orang: "Kambing‑kambing" yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai kepada mereka), atau karena saling berebut telah menyebabkan binatang‑binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalu sebagian mengalahkan yang lain. Dan yang menang pun akan menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri. Si kambing pun jatuh antara si perampas dan si pencuri.
Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.
Betapa banyak keluarga‑keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur, rumah‑rumah penuh dengan penghuni; sampai suatu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, biasanya menjalar meracuni hati mereka dan setan pun melakukan perannya, mereka pun kocar‑kacir tak karuan. Dan rumah‑rumah mereka runtuh berantakan.
Sahabat Ali karramallahu wajhah berkata dengan fasihnya: "Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan. Dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan."
Pendek kata; siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka‑buka lembaran yang tidak sedikit dari ihwal bangsa‑bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang terjadi pada mereka hingga saat‑saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kejayaan yang pernah menggelimangi mereka, kebanggaan yang pernah mereka sandang dan kemuliaan yang pernah menjadi perhiasan mereka, tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegangi, yaitu :mereka bersatu dalam cita‑cita, seia‑sekata, searah‑setujuan dan pikiran‑pikiran mereka seiring. Maka inilah faktor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh dalam menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.
Musuh‑musuh mereka tak dapat berbuat apa‑apa terhadap mereka; malahan menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka. Dan mereka pun mencapai tujuan‑tujuan mereka dengan gemilang. Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah Swt tak pernah terbenam, senantiasa memancar cemerlang. Dan musuh‑musuh mereka tak dapat mencapai sinar‑sinarnya.
Wahai ulama dan para pernimpin yang bertaqwa dan kalangan Ahlssunnah wal Jarna'ah, keluarga madzhab imam empat; Anda sekalian telah menimba ilmu‑ilmu dari orang‑orang sebelum Anda, orang‑orang sebelum Anda menimba dari orang‑orang sebelum mereka, dengan jalinan sanad yang bersambung sampai kepada Anda sekalian. Dan Anda sekalian selalu meneliti dari siapa Anda menimba ilmu agama itu.
Maka dengan demikian, Anda sekalianlah penjaga‑penjaga dan pintu‑pintu gerbang ilmu‑ilmu itu. Rumah‑rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu‑pintunya. Siapa yang memasukinya tidak lewat pintunya, disebut pencuri.
Sementara itu ada segolongan orang yang telah terjun ke dalam lautan fitnah, memilih bid'ah‑bid'ah dan bukan sunnah‑sunnah Rasul dan kebanyakan orang mu'min yang benar hanya terpaku. Maka para ahli bid'ah itu seenaknya memutar balikkan kebenaran, memungkarkan ma'ruf dan mema'rufkan kemungkaran.
Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana. Mereka ini tidak berhenti sampai di situ, malahan mereka mendirikan perkumpulan berdasarkan pada perilaku mereka tersebut. Maka kesesatanpun semakin jauh. Orang-orang yang malang pada rnemasuki perkumpulan itu. Mereka tidak mendengar sabda Rasulullah saw.: Fandhuru 'amman takhudzuuna diinakum;' (maka lihat dan telitilah dari siapa kamu menerima ajaran agamarnu ini).
Sesungguhnya menjelang hari Kiamat, muncul banyak pendusta. Janganlah karnu menangisi agama ini bila ia berada dalam kekuasaan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di dalarn kekuasaan bukan ahlinya.
Tepat sekali sahabat Umar bin Khaftab ra ketika berkata: `Agama Islam hancur oleh perbantahan orang munafik dengan AI‑Quran."
Anda sekalian adalah orang‑orang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebatilan, penafsiran orang‑orang bodoh dan penyelewengan orang‑orang..yang over acting; dengan hujjah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan melalui lisan orang yang la kehendaki.
Dan Anda sekalianlah kelompok yang disebut dalam sabda Rasulullah saw: 'Anda sekelompok dari umatku yang tak pemah bergeser selalu berdiri tegak di atas kebenaran, tak dapat dicederai oleh orang yang melawan mereka, hingga datang putusan Allah.
Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin,para hartawan, rakyat jelata dan orang‑orang kuat, berbondong‑ bond ong masuk Jam'iyyah yang diberi nama "Jam'iyyah Nahdlatul Ulama" ini.
Masukiah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa dan raga. Ini adalah jam'iyyah yang lurus, damai, bersifat memperbaiki dan menyantuni. la manis terasa di mulut orang‑orang yang baik dan bengkal (Jawa: klolod) di tenggorokan orang‑orang yang tidak baik. Dalam hal ini, hendaklah Anda sekalian saling mengingatkan dengan kerja sama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan yang memikat serta hujjah yang tak terbantah.
Sampaikanlah secara terang‑terangan apa yang diperintah Allah kepadamu, agar bid'ah‑bid'ah terberantas dari semua orang.
Rasulullah saw bersabda: "Apabila fitnah‑fitnah dan bid'ah‑bid'ah muncul dan sahabat‑sahabatku dicaci‑maki maka hendaklah orang‑orang alim menampakkan ilmunya. Barangsiapa tidak berbuat begitu maka dia akan terkena la'nat Allah, la'nat para malaikat dan semua orang."
Allah Swt. telah berfirman: Wa ta'aawanuu 'alalbirri wattaqwa."(Dan saling tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa kepada Allah).
Sayyidina Ali karramallahu wajahah berkata :
"Tak seorang pun (betapapun lama ijtihadnya dalam amal) mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak‑hak Allah yang wajib atas hamba‑hambaNya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran di antara mereka."
"Tak seorangpun (betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama) dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya. Dan tidak seorangpun (betapapun kerdil jiwanya dan pandangan‑pandangan mata merendahkannya) melampaui kondisi dibutuhkan bantuannya dan dibantu untuk itu."
Artinya: tak seorangpun betapa tinggi kedudukannya dan hebatnya dalam bidang agama dan kebenaran yang dapat lepas tidak membutuhkan bantuan dalarn pelaksanaan kewajibannya terhadap Allah; dan tak seorangpun, betapa rendahnya, tidak dibutuhkan bantuannya atau diberi bantuan dalam pelaksanaan kewajiban itu.
Tolong‑menolong atau saling bantu pangkal keterlibatan umat‑umat. Sebab kalau tidak ada tolong‑menolong, niscaya semangat dan kemauan akan lumpuh karena merasa tidak mampu mengejar cita‑cita.
Barangsiapa mau tolong‑menolong dalam persoalan dunia dan akhiratnya, maka akan sempurnalah kebahagaiannya, nyaman dan sentosa hidupnya.
Sayyid Ahmad bin Abdillah As Saqqa berkata:
"Jam'iyyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda‑tanda menggembirakan, daerah‑daerahnya menyatu, bangunan‑bangunannya telah berdiri tegak,. lalu kemana kamu akan pergi? Kemana? Wahai orang‑orang yang berpaling, jadilah kamu orang‑orang yang pertama, kalau tidak, orang‑orang yang menyusul (masuk JamIyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan‑goncangan: mereka (orang‑orang munafik itu) puas bahwa mereka ada bersama orang‑orang yang ketinggalan (tidak ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka merekapun tidak bisa mengerti."
"Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang‑orang yang merugi"
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberi hidayah kepada kami, anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisiMu,sesungguhnya Engkaulah Maha Penganugerah.
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa‑dosa kami, hapuskanlah dari diri‑diri kami kesalahan‑kesalahan kami dan matikanlah kami beserta orang‑orang yang berbakti. Ya Tuhan kami, karunialah kami apa yang Engkau janjikan kepada kami melalui utusan‑utusanMu dan jangan hinakan kami dari hari Kiamat. Sesungphnya Engkau tidak pemah menyalahi janji.
(Diterejemahkan oleh KH Mustofe Bisri, Rembang) Menjelang Muktamar NU ke‑27 (Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Nahdlatul Umalama)
Apa yang kita simak dari QAANUUNIL ASAASY yang ditulis panjang lebar oleh Hadrotu Syekh KH. Hasyim As'ari diatas? Pada intinya beliau mengajak semua umat Islam untuk bersatu, bahu membahu membangun umat dan menghilangkan perpecahan. Menyeru kejalan Tuhan untuk berbuat baik, dan mengajak umat manusia untuk masuk NU "Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin,para hartawan, rakyat jeiata dan orang‑orang kuat, berbondong‑ bondong masuk Jam'iyyah yang diberi nama "Jam'iyyah Nahdlatul Ulama" ini.
Lebih jauh untuk memahami NU, kita perlu memperhatikan landasan dasar yang digunakan organisasi dalam melakukan gerakan organisasi. Landasan tersebut berupa Anggaran Dasar (Rule of Game) dalam berorganisasi.
MUKADDIMAH
ANGGARAN DASAR NAHDLATUL ULAMA
Bahwa agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam karena ajarannya mendorong kegiatan para pemeluknyauntulk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Bahwa para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Indonesia terpanggil untuk melanjutkan da'wah Islamiyah dan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan mengorganisasikan kegiatan‑kegiatannya dalam satu wadah yang bernama NAHDLATUL ULAMA, yang bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam menurut faham Ahiussunnah wal Jama'ah.
Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NAHDLATUL ULAMA menuju khaira ummah adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat indonesia, Maka, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita‑cita seiuruh masyarakat Indonesia, Jamiyyah NAHDLATUL ULAMA berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hilkmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam merupakan kepercayaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagai inti aqidah Islam yang meyakini bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bahwa cita‑cita bangsa Indonesia hanya bisa diwujudkan secara utuh apabila seluruh potensi nasional difungsikan secara baik, dan NAHDLATUL ULAMA berkeyakinan bahwa keterlibatannya secara penuh dalam proses perjuangan dan pembangunan nasional merupakan suatu keharusan.
Bahwa untuk mewujudkan hubungan antar bangsa yang adil, damai dan manusiawi menuntut saling pengertian dan saling membutuhkan, maka NAHDLATUL ULAMA bertekad untuk mengembangkan Ukhuwwah Islamiyah yang mengemban kepentingan Nasional.
Menyadari hal‑hal di atas maka disusunlah Anggaran Dasar NAHDLATUL ULAMA sebagaibedkut:
BAB 1
MAMA DAN TEMPAT KIEDUDUKAN
Pasal 1
Jam'iyah ini bernama NAHDLATUL ULAMA disingkat NU. Didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M., untuk waktu yang tak terbatas.
Pasa2
Pengurus Besar.jam'iyah Nahdlatul Ulama berkedudukan di lbukota Negara Republik Indonesia.
BAB II
AQIDAH 1 ASAS
Pasa3
Nahdiatul Ulama sebagai jam'iyyah diniyyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam menurut faham Ahlussunnah waljama'ah dan menganut salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.
Dalarn kehidupan berbangsa dan bernegara, NAHDLATUL ULAMA berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
LAMBANG
Pasal  4
Lambang NahdIatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang teletak melingkar di atas garis katulistiwa, yang terbesar di antaranya tedetak di tengah atas sedang 4 (empat) bintang lainnya teletak melingkar di bawah katulistiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.
BAB IV
TUJUAN DAN USAHA
Pasal 5
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunah Wal Jama'ah dan menganut salah satu dari mazhab empat, di tengah‑tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Pasal 6
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana pasal 5 di atas maka Nahdlatul Ulama melaksanakan usaha‑usaha sebagai berikut:
a
Dibidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal jama'ah dalam masyarakat dengan melaksanakan da'wah Islamiyyah dan amar ma'ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwah Islamiyyah;
b
Dibidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara;
c
Dibidang sosial, mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat dan bantuan terhadap anak yatim, fakir­miskin, serta anggota masyarakat yang menderita lainnya
d
Dibidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil‑hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangya ekonomi rakyat.
e
Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (maslhah al-ammah) guna terwujudnya khoerul umah.
Dari sini sudah terlihat komitmen NU terhadap Islam dan NKRI. "Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Indonesia terpanggil untuk melanjutkan da'wah Islamiyah dan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan mengorganisasikan kegiatan‑kegiatannya dalam satu wadah yang bernama NAHDLATUL ULAMA, yang bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam menurut faham Ahiussunnah wal Jama'ah.
"agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam karena ajarannya mendorong kegiatan para pemeluknya untulk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat."
Kemudian NU mempunyai komitmen terhadap pancasila sebagai idiologi Negara. "Maka, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita‑cita seiuruh masyarakat Indonesia, Jamiyyah NAHDLATUL ULAMA berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hilkmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
"Untuk mewujudkan hubungan antar bangsa yang adil, damai dan manusiawi menuntut saling pengertian dan saling membutuhkan, maka NAHDLATUL ULAMA bertekad untuk mengembangkan Ukhuwwah Islamiyah yang mengemban kepentingan Nasional."

FAHAM KE AGAMAAN NAHDLATUL ULAMA


Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam; Al-Qur'an, As-Sunah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Islam Ahlussunah Wal Jama'ah dimaknai sebagai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang didasarkan pada  sistim nilai Al-Qur'an, Al-Hadits, Al-Ijma Ulama dan Al-Qiyas Fukoha. Dalam memahami dan menafsirkan Islam  dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham ahlus sunnah wal Jama’ah  dan menggunakan jalan pendekatan (Al-Mazdhab): Dibidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti   faham ahlus sunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al Asy’ary dan Imama Abu Mansur Al-Maturidi. Dibidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al- Madzhab) salah satu dari mazdhab Abu Hanifah An-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam Al Junaedi Al-Bagdadi dan Imam Al-Ghazali serta Imam-imam yang lain.
Nahdlatu Ulama  mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithrah, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatu Ulama  bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta cirri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan untuk menghapus nilai-nilai tersebut.
Pengamalan Islam dengan menggunakan metoda pemahaman para imam madzhab bukan berarti taklid buta, sebab para imam madzhab telah menjelaskan sedemikian hingga proses (ikhrojul hukmi) mengeluarkan hukum dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Kalau kita amati secara seksama dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada satupun umat Islam di dunia yang tatacara ibadahnya yang tidak mengikuti imam madzhab, baik itu Si'ah, Wahabi, Muhamadiyah, Persis dan sebagainya, sebab bagaimana mungkin dia bisa melakukan shalat seperti hadits Nabi SAW "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat akau shalat" padahal dia tidak pernah melihat Nabi SAW mengerjakan shalat karena perbedaan ruang dan waktu. Shalat yang mereka kerjakan hari ini, bersuci (wudhu) yang mereka kerjakan hari ini, semata-mata meniru (tabe) guru yang mengajarkannya, sedangkan guru yang mengajarkannya meniru gurunya lagi atau membaca kitab karangan imam madzhab. Sehingga demikian dapat disimpulkan walaupun tidak mengakui sebenarnya mereka bermadzhab.
Hal yang harus digaris bawahi, bahwa NU sangat menghargai pluralime (perbedaan), baik perbedaan mazhab, budaya, keyakinan (kepercayaan), maupun perbedaan agama, karena bagi NU perbedaan itu rahmat.
NU meyakini bahwa, agama pada dasarnya menghehdaki adanya cinta kasih di antara sesama umat manusia tanpa mepertimbangkan perbedaan latar belakang identitas atau predikat yang disandang. Menurut penalaran akal sehat, tak akan ada satupun agama yang menghalalkan permusuhan karena suatu perbedaan selama semua pihak saling menghormati satu sama lain dalam melaksanakan hak dan kewajibannya masing‑masing itu tidak ada masalah.
Namun citra ideal agama tersebut sayangnya tak jarang menampakkan wajah yang kurang bersahabat ketika menjelma menjadi ideologi atau keyakinan sekelompok orang yang bersifat mutlak, tertutup, agresif, dan menjurus ke arah eksklusivisme. Kebenaran yang dianut bukan lagi menafikan kebenaran yang diyakini pihak lain, tetapi lebih dari itu, penghormatan terhadap suatu eksistensi di luar dirinya tidak diberikan sama sekali, sehingga perbedaan dianggap fenomena yang menyalahi "kebenaran" itu sendiri.
Dalam perspektif NU, perbedaan pada hakekatnya bukanlah suatu masalah yang "serius" karena merupakan garis ketentuan Allah. Dengan kebesaran kekuasaanNya, Allah justru menciptakan manusia dalam keanekaragaman sebagaimana penjelasan AI‑Qur'an.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki‑laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa‑bangsa dan bersuku‑suku, supaya kamu saling kenal mengenal". (QS. 49: 13) Penjelasan ini parelel dengan firman Allah; "Dan di antara tanda‑tanda kekuasaanNya ialah diciptakanNya langit dan bumi, serta berbedanya bahasa­ bahasa kalian dan warna kulit kalian". (QS. 30: 22)
Kedua firman Allah di atas menunjukka bahwa perbedaan alamiah merupakan kodrat yang harus diterima oleh semua orang, serta menjadi faktor positif yang dapat diambil manfaatnya demi kemaslahatan hidup manusia secara keseluruhan. Karena perbedaan alamiah itulah manusia menjadi saling mengenal dan berhubungan, sehingga setiap orang akan mampu melihat kelebihan dan kekurangan masing‑masing, sebagai refleksi diri sebelum melakukan penilaian terhadap orang lain, tak terkecuali menyadari kemustahilan untuk menjalani hidup tanpa rasa kebersamaan.
Karena mengakui eksistensi seluruh umat manusia yang beranekaragam, Islam sebagai agama tidak pernah menyerukan kebenaran yang dibawanya dengan memakai cara kekerasan ataupun berupa paksa.an yang melanggar nilai‑nilai kemanusiaan.
Sebaliknya Ia selalu menganjurkan penggunaan cara‑cara yang baik dalam menyampaikan kebenaran, seperti perintah AI‑Qur'an;
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terpuji (QS. 16:125)
Menurut pandangan NU, syariat Islam menekankan perlunya perlindungan terhadap lima hal pokok atau prinsip (al‑ushul alkhamsah) yang harus diterapkan tanpa pandang bulu, yakni;
Pertama, hifdzu al‑din atau perlindungan terhadap agama (termasuk keyakinan). Sebagaimana ditekankan oleh Allah sendiri, agama atau keyakinan merupakan hal yang tidak dapat dipaksakan untuk diterima. Sebagai individii yang merdeka, setiap orang berhak diberi perlindungan untuk mempercayai dan menjalankan agama atau keyakinan yang dianutnya tanpa boleh dihalang-halangi sedikitpun.
Kedua, hifdzu al‑nafs atau perlindungan jiwa. Sesuai komitmen Islam untuk memuliakan anak cucu Adam. Seluruh ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia harus dihilangkan dan dihindari. Agama sama sekali tidak membenarkan perbuatan yang secara langsung maupun tidak, dianggap dapat melenyapkan nyawa atau hak hidup seseorang, kecuali berdasarkan alasan yang ditolerir oleh syariat Islam seperti pembunuhan yang dilakukan dalam rangka membela keselamatan diri sendiri ataupun yang dijatuhkan sebagai bentuk alternatif terakhir hukuman pidana.
Ketiga, hifdzu al‑mal atau perlindungan terhadap harta benda. Setiap orang berhak mengusahakan harta benda bagi kesejahteraan hidupnya, Islam memerintahkan agar hak tersebut dilindungi. Bahkan menjaga dan mempertahankan harta benda yang dimiliki dari ancaman kejahatan merupakan perbuatan yang dianjurkan agama.
Keempat, hifdzu al‑aql atau perlindungan terhadap akal pikiran. Sebagai agama yang menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, Islam menempatkan akal pikiran pada posisi yang tinggi, serta melarang semua perbuatan yang dapat merusak atau menghalangi bekerjanya akal pikiran secara wajar.
Kelima, hifdzu al‑nasl atau perlindungan terhadap keturunan. Maksudnya, seluruh bentuk proses reproduksi yang memungkinkan manusia untuk melanjutkan keturunan harus dilindungi dan dijaga. dari upaya perusakan.
Dengan kelima prinsip di atas, Islam hendak menegaskan bahwa dalam diri dan kehidupan manusia terdapat hal-­hal mendasar yang mesti diperhatikan seraya mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak perlu sampai menyebabkan hal‑hal mendasar tersebut diberlakukan secara diskriminatif.
Disamping itu, menurut pandangan NU, Islam juga mengajarkan semangat persaudaraan yang dapat mengantar masyarakat menuju keharmonisan dan kebersamaan hidup di dalam perbedaan. Betapapun dikatakan bahwa setiap muslim adalah saudara bagi sesama muslim lainnya sebagai pengikat tali solidaritas, yang selanjutnya dirumuskan dalam konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), agama Islam tetap menginginkan terwujudnya ko-eksistensi secara sehat serta saling menghormati dan tolong menolong antara umat Islam dan umat pemeluk agama lain dalam sebuah komunitas yang diikat oleh kesatuan identitas sebagai bangsa, yang kemudian terkenal dengan konsep ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan bangsa. Bahkan Untuk menjunjung tinggi rasa solidaritas sebagai sesama umat manusia yang beradab, Islam senantiasa mendorong terbentuknya ukhuwah basyariyah (persaudaraan manusia) yang melampaui sekat‑sekat negara dan identitas kebangsaan.
Selain menawarkan konsep persaudaraan sebagaimana telah dijelaskan, dalam konteks kebangsaan, Islam sama sekali tidak membenarkan sikap dan tindakan yang dapat merendahkan prinsip keadilan bagi seluruh warga negara. Dalam bingkai kebangsaan, setiap warga negara harus diperlakukan secara adil tanpa memandang asal suku, ras, maupun agamanya. Bagaimanapun rasa keadilan ini akan menjadi alat legitimasi yang kuat dari rakyat kepada pemerintahnya.
jika diamati, krisis kepercayaan terhadap pemimpim yang melanda bangsa Indonesia belakangan ini, pada dasarnya lebih disebabkan karena hilangnya rasa keadilan di hati rakyat akibat kepongahan penguasa. Pemerintah salah memahami bahwa legitimasi rakyat bisa muncul dari legalitas formal belaka, sehingga berakibat fatal. Padahal legitimasi rakyat justru lebih dapat diharapkan lahir dari keadilan sikap penguasa ketimbang legalitas formal.
Sayangnya. dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, inklusivitas Islam sebagaimana dijelaskan di atas masih membutuhkan waktu cukup lama untuk meraih capaian‑capaian yang diidealkan. Di samping itu, dalam kalangan umat Islam sendiri sepertinya sangat sulit terdapat kata sepakat mengenai rumusan baku yang mampu menyelesaikan persoalan pluralime secara tuntas. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan teks‑teks kitab suci seringkali menjadi penyebab permusuhan. Malah perbedaan penafsiran itu tak jarang berujung pada perpecahan umat, yang seandainya disadari bersama‑bersama bahwa teks tersebut memang sangat.multi‑interpretable, perpecahan umat itu adalah hal yang tidak perlu terjadi. Kondisi ini tentu saja mengimbas pada pemahaman tentang pluralisme dalam skala yang lebih luas dan melibatkan budaya‑budaya yang berbeda‑beda.
Menurut pandangan NU, Kitab Suci sebenarnya tidak secara total men­jelaskan berbagai fenomena kemasyarakatan yang ada. Banyak hal baru yang tidak dimuat dalam kitab suci yang memerlukan penyikapan tersendiri ketimbang, misalnya, hanya sekadar menghakimi suatu budaya apakah itu Islami atau tidak.
Penghakiman secara hitam putih ini yang kemudian diteruskan dengan proyek purifikasi, lambat laun akan menimbulkan konflik tersendiri di luar ketegangan yang sudah ada ketika mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kitab suci.
Bagi NU kehadiran Islam di muka burni sama.sekali tidak berpretensi menggugat realitas perbedaan atau kemajemukan, sehingga iklirn pluralisme yang seharusnya diwujudkan dalarn kehidupan bangsa Indonesia menjadi terganggu. Bagi NU sendiri, Islam pada dasarnya lebih bersifat menyerap terhadap segala macam. budaya, sehingga tidaklah heran jika para ularna NU sangat akrab dengan budaya‑budaya lokal maupun nasional ketimbang budaya Arab yang menjadi tempat penyebaran agama Islam pertarna kali di muka burni.
NU memandang, umat Islam di tanah air sebagai kelompok mayoritas yang berada dalam bingkai kebangsaan Indonesia harus lebih bertanggungjawab menyangkut hak‑hak kalangan minoritas.
Barangkali permasalahan konflik antara umat beragama memang belum terselesaikan secara tuntas, sehingga pandangan dengan penuh kecurigaan masih dilemparkan kepada umat beragama yang lain. Dalam. hal ini, ketakutan‑ketakutan terhadap penyebaran ajaran agama lain turut berperan serta dalam mempertahankan pandangan di atas. Padahal, bagi NU, karena semua agama adalah sistem kepercayaan yang berorientasi pada penyela­matan umat manusia (salvation mission), maka "perlombaan­-perlombaan" untuk menyelamatkan manusia tidak dapat disalahkan begitu saja. Dalam. konteks kebangsaan, mereka berhak mendapatkan perlindungan yang sama dari pemerintah. Masing­ masing mempunyai hak yang sama untuk menyebarkan agama, asalkan semua itu berjalan secara damai. Pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk agama tertentu adalah pelanggatan atas etika kesetaraan dan kebersamaan dalam. bingkai kebangsaan.
NU memandang, Islam sendiri yang membawa misi sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil`alamin) harus dipahami secara substansial agar nilai‑nilai yang diajarkannya dapat membumi dalam. setiap konteks kehidupan masyarakat. Justru dengan pemahaman substansial inilah keluhuran Islam dapat disebarkan kepada semua umat manusia dan makhluk semesta.  
Bila melihat sejarah Nabi Muhammad ketika memimpin Madinah, ada berbagai kelompok yang tidak beragama Islam, sehingga dibikin garis pembeda yang jelas antara persoalan‑persoalan khas keIslaman dengan masalah‑masalah yang menyangkut kewarganegaraan, semisal pajak, peluang pendidikan, kehormatan, keamanan dan sebagainya, yang dijauhkan dari adanya diskriminasi.
Dalam Piagam Madinah yang dijadikan sebagai konstitusi saat itu, semua unsur kepentingan tidak pernah dinegasikan, tetapi diberi tempat sesuai dengan proporsinya. Kepentingan‑kepentingan yang berbeda‑beda boleh saja mengemuka sepanjang tetap berpegang pada etika sosial yang disepakati bersama, hingga kemudian menjadi pemacu kemajuan masyarakat agar mereka dapat berkompetisi secara lebih sehat demi mengejar kepentingannya.
Oleh karena itu, penyikapan terhadap keragaman budaya di Indonesia sebenarnya harus dilakukan pula melalui pendekatan kultural yang pro pluralisme, bukan malah melancarkan purifikasi yang menyebabkan hilangnya kekayaan kebudayaan lokal yang dianggap bertentangan dengan nilai‑nilai budaya Arab yang telah mendapatkan klaim dari sebagian kaum Muslim sebagai budaya Islam. Kalaupun ada intervensi budaya Arab sebagai asal Islam maka hendaknya intervensi budaya itu dilakukan secara wajar dan mengikuti proses‑proses budaya lokal. Pemakaian jubah, misalnya, tidak dapat digunakan untuk mengukur standar kesalihan seseorang, pun tidak juga dapat digunakan logika sebaliknya bahwa orang yang menggunakan jubah adalah orang yang kolot. Pemakaian jubah adalah semata‑mata urusan budaya yang sama sekali jauh dari unsur syariat.
Begitu pula dalam tradisi jawyang mengenal ritus‑ritus yang dilakukan dalam rangka memberi penghormatan terhadap arwah orang tua dan nenek moyang yang sudah meninggal sekaligus sebagai media untuk mendoakan keselamatan mereka di alam baka. Pada dasarnya tradisi ini mengandung ajaran luhur sehingga tidak perlu dihilangkan, tetapi justru diarahkan supaya tidak mengandung unsur‑unsur yang bertentangan dengan akidah Islam. Bagimanapun, upaya menghormati arwah orang yang telah meninggal juga mendapatkan tempat yang tinggi dalam ajaran Islam selama hal itu tidak diekspresikan secara berlebihan.
Namun kalau kita menggunakan pendekatan purifikasi, maka "pengIslaman" tradisi tersebut yang akhirnya berubah menjadi budaya tahlil, talqin, tahmid dan lainnya juga harus dihapuskan karena tidak dijumpai dasarnya secara otentik dalam Al‑Quran. Padahal diakui atau tidak, kekayaan budaya yang terus berkembang di setiap ruang dan waktu hampir tidak mungkin untuk diukur keabsahannya dalam prespektif Islam jika upaya otentifikasi yang.dipakai sama sekali tidak mentolerir perbedaan yang berkaitan dengan tampilan formal. Sebaliknya kalau ajaran Islam lebih diposisikan sebagai ruh yang bisa masuk ke berbagai corak budaya, kelenturan agama menjadi sangat dimungkinkan, kendati batas‑batas pembenaran atau penyangkalan tetap merupakan hal yang niscaya. Kalaupun dijumpai hal‑hal yang bertentangan dengan prinsip‑prinsip Islam, maka bukan berarti budaya itu sendiri yang dihapus. Menghilangkan luka kecil ditangan dengan memotong tangan secara keseluruhan bukanlah langkah yang bijak, karena berpotensi menimbulkan luka baru yang lebih besar..
NU sebagai satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, sebenarnya adalah komunitas Islam yang semenjak kelahirannya tujuh puluhan tahun yang Ialu senantiasa berusaha menekankan pentingnya pelestarian dan penghargaan terhadap khazanah budaya nusantara.
Diilhami oleh dakwah khas Walisongo yang berhasil "mengawinkan" lokalitas budaya dengan universalitas agama (Islam), NU berupaya menebar benih‑benih Islam dalam wajah yang familiar atau mudah dikenali oleh masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional.
Bagi NU dua hal yang sangat dibutuhkan dalam konteks pluralisme, yaitu; Pertamaperekatan identitas kebangsaan. Karena masuk melalui jalur budaya dengan membawa watak pluralis, hampir tidak ada komunitas budaya yang merasa terancam eksistensinya, baik langsung maupun tidak. Malah dari sinilah kemudian muncul kaidah hukum Islam "al‑'adah muhakkamah" yang memberi peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonversi menjadi bagian dari hukum Islam selama tidak menyangkut ibadah mahdhah seperti salat, puasa, dan semacamnya. Aktivitas budaya sangat mungkin dinilai sebagai kegiatan yang bermuatan agama jika memang berperan menegakkan prinsip‑prinsip yang diperjuangkan Islam. Dan dalam batas yang minimal, aktivitas budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak merusak kemaslahatan.
Dengan demikian, meski secara statistik NU tergolong mayoritas, namun NU memandang, kehormatan Islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara‑cara yang bisa diterima oleh kelompok lain, bukan ditegakkan dengan sebuah penindasan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi kornunitas masyarakat manapun, yang pada gilirannya, cara‑cara ini dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama sebagai sebuah bangsa.
Kedua pengembangan nilai‑nilai kemanusiaan. Tidak dapat disangkal bahwa penampilan Islam yang akomodatif, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan nilainilai kemanusiaan dibanding kekakuan sikap dalam beragama yang bisa mereduksi hak‑hak asasi masyarakat karena cenderung berpijak pada eksklusivisme yang berpotensi memonopoli kebenaran serta gampang menyulut kekerasan berbasis agarna.
Sikap akomodatif ini tentu saja harus dibedakan dari kekeringan komitmen keIslaman yang menunjukkan lemahnya iman. Sebaliknya sikap akornodatif justru muncul sebagai bukti totalitas pemahaman terhadap agama yang diyakini mampu menjadi rahmat bagi semua orang.

Pada akhirnya, sikap akomodatif yang lahir dari adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragarnan budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai‑nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang(Nahdlatul Ulama ditengah Agenda Persoalan Bangsa. KH.A. Hasyim Mudzadi PT.Logos Wacana Ilmu:1999)

KONSEP KENEGARAAN NAHDLATUL ULAMA


Negara secara terminologi adalah organisasi kemasyarakatan, badan politik, atau sebagai institusi kepemerintahan. Karena negara adalah sebagai organisasi kemasyarakatan maka organisasi itu sebelumnya mensyaratkan adanya individu‑individu yang biasanya disebut dengan bangsa. Namun ada dua pandangan yang berbeda dalam hal menentukan. apakah yang primer itu individu-­individu yang disebut dengan bangsa itu atau negara sebagai organisasi.
Menurut Kranenburg yang primer itu adalah individu-individu yang disebut dengan bangsa, sebab tanpa adanya individu-individu negara tidak dapat disebut dengan negara.
Sedangkan. menurut Logemann yang primer itu adalah organisasi atau negaranya, sedangkan bangsa hanya sekunder, Sebab, tanpa organisasi atau aturan sebuah negara tidak dapat disebut dengan negara.
Dari dua pandangan yang berbeda ini, kemudian melahirkan sudut pandang yang berbeda pula dalam masalah apakah yang terpenting dalam membangun, dan memajukan sebuah negara yang didahulukan sistemnya atau membenahi rakyatnya.
Karena negara. adalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau kekuasaan, maka negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Jika tidak, maka negara. tidak akan mungkin akan dapat terus bertahan.
Hal yang menjadi titik tekan pada sub bab ini adalah, bagaimana konsep NU dalam memandang negara. Apakah NU menghendaki berdirinya Negara Islam seperti yang didengungkan oleh kalangan Islam radikal atau menghendaki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti sekarang ini ???
Mantan Rais Aam PBNU, almarhum KH Achmad Siddik pada tahun 1980‑an pernah mengatakan bahwa NU pada tahun 1935 sudah memutuskan negara Hindia‑Be­landa adalah negara Islam. Karena itu, Bung Karno saat mencetuskan Pancasila juga didukung NU. Jadi NU sejak dulu telah mendukung terhadap Pancasila. Bahkan dalam pandangan KH Ahmad Sidik, usaha untuk mendirikan negara Islam adalah suatu hal yang utopis.
KH Ahmad Sidik mengakui bahwa penghapusan kata‑kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya menyebabkan umat Islam kecewa. Kemudian pada waktu itu tejadilah perbedaan pendapat antara Sukarno dan Natsir. Tapi, menurut Kiai Ahmad Sidik siapa orang atau golongan yang tepat dan berwenang mengatasnamakan Islam ? Orang yang mengaku dirinya Islam justru centang perenang, malah saling benturan satu sama lain,
Menurut KH Ahmad Sidik citra Islam itu sudah kabur, sehingga kalau ada orang yang bertanya, Islam menurut Tuhan itu yang mana, sebab ada Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Karto Suwiryo. Karena alasan itulah, kata KH Ahmad Sidik, NU menerima Pancasila.
Slamet Efendi Yusuf salah seorang perancang konsep Khittah NU 1926 membenarkan pemikiran KH Achmad Siddik tersebut yang cenderung menghindari formalisasi agama dalam negara. Oleh sebab itu, salah satu agenda dalam Muktamar Situbondo yang ingin digolkan adalah penegasan. bahwa bagi NU, NKRI adalah final.
Ditambahkan Slamet, dalam Muktamar itu para ulama sepakat bahwa NKRI adalah sebagai bentuk negara final. Selain itu, NU juga menegaskan tidak berkeinginan untuk mendirikan negara Islam.
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi mengatakan, agama itu tidak perlu diformalkan. Menghindari formalisme bukan berarti tidak Islam, tapi Islam yang maknawi dan Indonesiawi. Maknawi dalam arti semangatnya saja yang masuk. Seperti HAM, konsep persatuan, dan egalitarian, itu Islami. Sehingga hukum‑hukum positif harus disemangati dengan agama, tetapi tidak formalistik, cukup substansi dan maknawi saja.
Oleh sebab itu, menurutnya, tidak perlu undang‑undang Islam anti korupsikarena undang‑undang anti korupsi yang sudah ada itu sudah hebat. Sepeirti di Tangerang ada Perda yang mengatur bahwa wali kota harus bisa baca al‑Qur'bn itu tidak perlu, sebab jika ajaran Islam diformal maka pasti akan muncul Perda Injil, perda Islam, perda Hindu, perda Nyi Roro Kidul atau perda‑perda lain. Ini kan gawat, tegas KH. Hasyim Mudzadi.
Memformalkan agama dalam konteks negara Indonesia akan mengacaukan sistem yang ada, karena tidak sesuai dengan kondisi negara kita yang masyarakatnya heterogen. Bedahalnya dengan Saudi yang memang masyarakatnya homogen. Oleh sebab itu, lanjut Kiai Hasyim, Islam harus memberikan alternatif nasionalitas. Hal ini diakui oleh al‑Qur'an atas dasar wa ja'alnakum su'ubau wa qaba ila lita'arofu (dan kami jadikan kalian semua bersuku‑suku dan berbangsa‑bangsa agar kalian semua saling kenal).
"Ayat al‑Qur'an itu menunjukkan bahwaajaran Islam bersifat universal, namun ada juga bagian-­bagian yang bersifat nasionalistik atau partikular. Aspek nasionalitas inilah yang tidak diakui oleh HTI dan gerakan Islam transnasional," katanya.
Ketika ditanya ada tuduhan bahwa NU tidak kaffahKiai Hasyim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kaffah itu maksudnya bukan ketika agama diformalkan dalam bentuk negara, melainkan lebih menyentuh prilaku dan moralitas manusianya.
Kiai Hasyim mecontohkan masyarakat China, orang‑orang China yang penghasilannya dalam sehari 10.000, maka yang ia makan adalah 7.000, sehingga jelas apa yang mereka makan adalah halal. Beda dengadi negara kita, orang yang penghasilannya dalam sehari 10.000, makannya. habih 25.000, Ialu yang 15.000 dari mana ?
Maka, apa yang dilakukan oleh masyarakat China itu, menurut Kiai Hasyim, adalah Islami. Hanya saja mereka tidak mengucapkan syahadat, sehingga menurut keyakinan kita tidak mendapatkan pahala, namun mereka masih mendapatkan rahmat dari Tuhan.
Karena NU tidak sepakat dengan formalitas agama, dan hanya menjadikan agama sebagai ruh dalam konteks kehidupan beragama, maka seringkali NU dituduh sekuler dan anti terhadap syri'at Islam. Menurut Kiai Said, sebenarnya NU tidak anti terhadap syariat Islam, namun hanya menolak jika syariat itu dilegal formalkan. "Menolak terhadap formalisme agama bukan berarti sekuler," tegasnya.
Menurut KH Masdar Farid Mas'udi istilah sekuler itu secara historis tidak tepat untuk ditempelkan pada konteks Islam. Sebab, istilah sekuler lahir dari tradisi Barat yang menentang terhadap hegemoni institusi Gereja. Sedangkan Negara-negara Islam modem lahir dari inspirasi agama untuk melawan penjajah. Islam tidak memiliki beban teologis untuk memisahkan antara Tuhan dengan kaisar. Beda halnya dengan di Barat, sehingga sekularisasi secara keras itu tidak relevan.
Menurut KH Said Aqil munculnya klompok yang radikal yang‑menjelekkan terhadap-kelompok lain sesama muslim sebenarnya sudah diramalkan oleh Rasulullah. Dalam sebuah,hadis yang.diriwayatkan oleh Imam Muslim dikisahkan, ketika berada di daerah Ja'ranah, Rasulullah Saw. Membagikan fa(pajak) atau harta rampasan perang dari wilayah taif dan Hunain. Tiba‑tiba seorang sahabat yang bernama Dzul-­Khuwaisirah dari Bani Tamim, melayangkan protes kepada beliau, "Bersikap adillah, wahai Muhammad ! Protesnya kepada Nabi. Nabi pun dengan tegas, menjawab, Celaka kamu! Tidak ada orang yang lebih adil dari pada aku, karena yang aku lakukan berdasarkan pada petunjuk Allah!" Setelah Dzul-Khuwaisirah pergi, Nabi Muhammad Saw. Bersabda, "Sayakunu  ba'di min ummati kaomun yaqrouna Al-Qur'ana  la yuj halaqimahu, hum syarru al-khalaqi wa al-khaliqah". (Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kaom dari umatku yang membaca al‑Qur'an, na­mun tidak mendapatkan sub­stansinya. Mereka itu, sejelek­jeleknya makhluk di dunia ini).
Ramalan Nabi itu, menurut KH Said, ternyata terbukti setelah Nabi meninggal. Pada tahun 35 H, Khalifah Utsman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh kelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa khalifah 'Aliy ibn 'Abiy Talib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.
Komunitas ekstrim tersebut, sungguhpun pada mulanya bemuansa politik, berkembang menjadi sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij. Hal yang menarik, saat khalifah 'Aliy ibn 'Ably, Tilib masih hidup, kelompok ekstrem khawarij ini sempat memvonis kafir khalifah 'Aliy atas dasar kesalahan 'Aliy, yang membenarkan arbitrase atatahkim (kompromi) dengan Mu'Awiyah. Sebab menurut keyakinan mereka, alQur'in mengatakan la hukma ilallah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Kemudian 'Aliy menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan: "Ungkapannya benar, tapi maksudnya keliru".

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA


Agama secara literal berasal dari akar dana, yadinudinan, yang intinya menurut Kiai Said adalah loyal dan penuh komitmen dalam melaksanakan ajaran agama. Sedangkan Islam secara substantif artinya. adalah tunduk kepada Allah Yang Maha Esa disertai penyerahan diri secara total tanpa reserve (paksaan).
Ajaran agama menurut KH Masdar Farid Mas'udi secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ajaran agama yang bersifat privat, yaitu ajaran‑ajaran yang berlaku untuk internal umat Islam seperti salat, puasa, dan ibadah‑ibadah yang bersifat internal. Kedua adalah ajaran­ajaran yang bersifat publik atau hal‑hal yang berkenaan dengan mu'amalah atau urasan duniawi.
Kiai Said membagi ajaran agama menjadi dua bagian. Pertama, ajaran-ajaran yang berhubungan dengan ritual keagamaan. Kedua, ajaran yang berdimensi peradaban (tsaqofah dan tamaddun). Artinya ajaran yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi manusia untuk melakukan kreasi‑kreasi dan inovasi dalam kehidupannya. Oleh sebab itu pada dimensi ini agama menjunjung tinggi terhadap nilai‑nilai kemanusiaan, seperti kedamaian.
Kemudian apa hubungan antara agama, terutarna Islam dengan negara? Menurut KH. Hasyim Muzadi ada tiga pandangan dalam masalah hubungan antara agama dan negara. Pertama, paham integralistik, yakni paham yang meyakini bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, sekularistik, yaitu paham yang meyakini bahwa antara agarna dan negara. terpisah dan tadak ada kaitan sama sekali. Ketiga, paham simbiotik. Kata KH Hasyim menurut konsep ini agama dan negara adalah entitas yang berbeda namun keduanya. saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen. Sedangkan negara membutuhkan agama sebagai wadah untuk membentuk moral, etika, dan spiritualitas masyarakat. Oleh sebab itu, dalam pandangan KH Hasyim, agama dalam konteks negara diletakkan sebagai sumber nilai.
Gus Dur dalam artikelnya,‑Islam,'Ideologi, dan Etos kerja di Indonesia mencoba untuk merumuskan hubungan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia, yaitu Sebuah rumusan yang tidak bersifat teokrasi (Negara yang didasarkan pada agama) dan juga sekuler, kata Gusdur, hukum agama tidak memperoleh tempat karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional negara itu. Sedangkan dalam sistern negara teokrasi seringkali agama menjadi alat bagi kepentingan negara.
Masih menurut Gus Dur, Islam seba­gai agama memberlakukan nilai‑nilai normatif baik dalam konteks individu maupun kolektif dari para pemeluknya. Sedangkan negara, seperti Republik In­donesia, tidak mungkin memberlakukan nilai‑nilai yang tidak dapat diterima oleh semua warga negaranya, baik yang berasal dari agama, maupun pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai‑nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.
Secara keseluruhan, lanjut Gus Dur, fungsi Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai etika sosial (ahlaq masyarakat). Kedua; partikel‑partikel dari ajaran Islam dapat dijadikan sebagai undang-undang melalui proses konsensus undang‑undang, seperti Undang‑undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, UndangUndang Peradilan Agama No. 7/1989).
Dalam pandangan Gus Dur Islam juga membiarkan hal‑hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara, dan ideologi politik mereka untuk ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan yang cukup kuat, seperti yang kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri.kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan, imbuh Gus Dur, saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti yang masih terjadi di negeri‑negeri lain hingga saat ini.
Menurut KH. Said Aqil Siraj persoalan yang krusial yang dihadapi oleh bangsa kita adalah pembelokan fungsi agama yang dapat merugikan umat manusia. Pada saat ini ada sebagian dari saudara kita yang meng­inginkan un­tuk merubah dasar Negara kita dengan dasar Islam.
Hal ini sama halnya menarik agama ke dalam wila­yah politik kekuasaan. Padahal dalam pandangan KH Said Aqil, dalam. seja­rahnya politisasi agama telah menoreh­kan sejarah kelam peradaban manusia. Hal. ini dapat dilihat pada kasus terbu­nuhnya sufi besar al‑Hallaj, genocide (pemusnahan) sekte Syi'ah pada masa Bani Umayah, dan pembumihangusan ajaran Mu'tazilah di akhir pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Oleh sebab itu, kata kiai Said, Muktamar ‑NU di Banjarmasin pada tahun 1936 menempatkan negara Indonesia bukan sebagai daru al‑Isla(negara Islam), melainkan daru as‑Sali(negara keselamatan atau negara perdamaian).
Menurut Kiai Hasyim Muzadi dalam hubungannya dengan negara, NU selalu mengambil sikap tawassut (moderat). artinya NU menentukan sikap kenegaraannya dengan membangun masyarakat tanpa syarat Islam (Islamic Society) dari pada membangun negara Islam (Islamic State). Namun tidak berarti agama tidak memiliki fungsi dihadapan negara, melainkan agama sebagai spirit yang menjiwai terhadap negara.
Greg Fealy, salah seorang sarjana berkebangsaan Australia yang mengkaji tentang NU, mengatakan bahwa dasar formal pendekatan politik NU terletak dalam yurisprudensi abad pertengahan. Prinsip yang sering dijadikan dasar pengambilan keputusan politik NU dapat dibagi menjadi tiga kategori: kehijaksanaan, keluwesan, dan moderat. Ketiga prinsip ini saling berkaitan dan didasarkan pada Prinsip Fiqh
Prinsip kebijaksanaan adalah sebagai dasar pengambilan tindakan yang kondusif bagi upaya memperoleh manfaat dan menghindari kerugian. Masih menurut Fealykonsep kebijaksanaan di atas sudah menjad unsur utama dalam pendekatan yang dilaksanakan NU, dan tidak hanya diterapkan dalam masalah politik, tetapi juga dalam masalah sosial dan keagamaan. Prinsip keluwesan adalah sebagai dasar dalam setiap mengambil keputusan, sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Idham Chalid pada acara pertemuan partai 1959 bahwa NU selalu mencoba, sedapat mungkin, untuk menyesuaikan diri dengan waktu. dan peristiwa yang sedang terjadi, dan tidak pernah mengajukan sesuatu yang bersifat absolut atau tanpa syarat.
Prinsip moderat, kata Greg, adalah sebagai suatu keinginan untuk menghindarkan tindakan yang ekstrem dan bersikap hati‑hati dalam bertidak dan  menyatakan pendapat.
Menurut Kia Masdar untuk menentukan hubungan antara NU dengan negara harus dibendakan tiga macam politk. Pertama politik kenegaaan atau kebangsaan, yaitu Politik yang berusaha. untuk membangun dan mengatur Negara tanpa harus terlihat didalamnya. Kedua politik kekuasaan, yaitu politik yang orentasinya adalah murni kekuasaan untuk mendapatkan posisi tertentu dalam lembaga Negara. Ketiga politik kerakyatan, yaitu politik yang mengatur bagaimana memakmurkan rakyat. Posisi politik NU, bukan pada politik  kekuasaan, melainkan politik kenegaraan dan kerakyatan. (Risalah Edisi IV/Tahun I/ Syaban 1428 H.)
Dengan demikian bagi NU tidak mempersoalkan apa bentuk negaranya atau pemerintahannya dan siapa yang menjalankan pemerintahan tersebut, NU hanya memperjuangkan, agar pengelolaan Negara dilakukan dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat menjamin kemakmuran rakyatnya.
Politik kenegaaan dan Politik kerakyatan yang diperankan NU dalam membangun bangsa ini, dapat menghindarkan NU dari politisasi agama untuk menggolkan politik kekuasaan.
Kalau kita perhatikan, seruan dan jargon-jargon yang dibawa oleh kelompok Islam Radikal untuk mendirikan Khilapah Islamiah atau Negara Islam Indonesia, tidak lebih berorentasi polik kekuasaan, sehingga agama menjadi alat politik.
Saya tidak melihat apa yang mereka tawarkan dengan formalisasi Islam dalam bentuk Negara Islam Indonesia (NII) dapat memajukan Indonesia dan dapat memakmurkan rakyatnya. Yang saya lihat mereka meledakan bom atas nama jihad, dan menyebarkan kebencian diantara umat beragama karena perbedaan keyakinan. Apa yang bisa diharapkan dengan kondisi seperti itu,?


SIKAP KEMASYARAKATAN NAHDLATUL ULAMA


Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama. yang didasari dasar-dasar pendirian faham keagamaan Ahlussunah Wal Jama'ah menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada: Sikap tasawuth dan I’tidal, sikap tengan dan berintikan pada prinsif hidup yang menjung-jung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan  bersama. Nahdlatu Ulama  dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi panutan yang bersikaf dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (akstrim).
NU sangat menentang Ekstrim, baik Ektrim kiri, maupun Ekstrim kanan. NU lebih suka mengedepankan sikap tasamuh (sikap toleran) terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah hilafiah, maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Bagi NU, orang Islam bisa masuk surga tanpa harus bersikap ekstrim, tanpa harus meledakan bom atas nama jihad, tanpa harus membid'ahkan atau mengkafirkan sesame muslim yang berlainan aliran kepercayaan, tanpa harus memerangi non muslim yang melakukan perjanjian damai seperti dinegara kita ini. Bagi NU, toleransi beragama, dan menghargai perbedaan keyakinan adalah sunatullah yang tidak boleh diusik keberadaannya.
Sikap seperti itu, sangat dipengaruhi oleh Fikrah Nahdliyah yang menjadi landasannya dalam berfikir berbuat dan mengambil keputusan.
Ketua Umum PBNU, Dr KH A .Hasyim Mudzadi mengatakan hahwa fikrah Nahdlah adalah kerangka berpfikir yang didasarkan pada ajaran 'Ahlu as‑Sunnah wa al‑Jama'ah' (Aswaja). Kerangkan tersebut dijadikan landasan untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka perbaikan umat.
Dalam merespon berbagai persoalan, baik isu‑isu keagamaan mapun kemasyarakatan, NU memiliki metodologi atau manhaj tersendiri. Dalam bidang akidah, NU berkiblat pada pemikiran Abu Abu Hasan al‑Asyari dan Abu Mansur alMaturidi. Bidang fiqih mengikuti pendapat‑pendapat empat madzhab, baik secara manhaji maupun qauli. Sementara bidang tasawuf, niengikuti Syekh Junaid al‑Bagdadi dan Abu Hamid al‑Ghazali
"Fikrah Nahdliyah ini memiliki ciri khas yang membedakan dengan permikiran lainSetidaknya ada lima ciri fikrah Nahdliyah. Pertama adalah flkrah tawasuttiyah (pola pikir yang moderat). Artinya warga NU selalu bersikap seimbang dalam setiap menghadapi dan mensikapi persoalan. Kedua adalah fikrah tasammuhiyah (pola fikir toleran). Artinya warga NU dapat hidup berdampingan dengan warga dan kornunitas lain walaupun berbeda agama maupun aliran. Ketiga adalah fikrah islahiyah (pola fikir refomatif). Artinya warga NU selalu berupaya menuju ke arah yang lebih baik. Keempat adalah tatawwuriyah (pola. pikir dinamis). Artinya warga NU selalu melakukan kontekstualisasi dalarn merespon berbagai persoalan. Kelima adalah, fikrah manhajiyyah (pola fakir metodologis( Artinya warga NU itu dalam berpikir harus menggunakan landasan, tidak ngawur.
KH Hasyim. Muzadi mengurai bahwa secara historis epistimologi NU dalam masalah keumatan dan kebangsaan mengalami dua fase, yaitu fase taswiyah (pemurnian) dan tanmiyah (pengembangan). Dalam masalah keumatan harus ada kesinambungan antara fiqh 'ahkam dan fiqh da'wah. Sedangkan dalarn masalah kebangsaan bisa kita lihat dari hasil keputusan Munas Situbondo sebelum ia menjadi keputusan Muktamar yang membahas sikap NU terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Persoalannya sekarang, adalah bagaimana mengisinya, bukan membongkar tatanan konsep negara yang sudah ada? Bagaimana metode pengisiannya agar syari'at  tetap berjalan, tetapi NKRI tetap utuh.
Dalam, menjalankan sikap tawassut dan 'iltidal dalam masalah keumatan, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqhu al-'ahkam (fiqih hukum), dalam rangka untuk menentukan hukum fiqih yang dibidangi oleh Bahtsul Masail yang melakukan faqhu al ahkam (hukum fiqih) adalah umat 'ijabah, yaitu umat yang siap menjalankan syariat itu.
Sedangkan hubungan untuk orang non-muslim, kata KH. Hasyim Mudzadi, NU menggunakan fiqhu da'wah (fiqih da'wah) yang didasarkan pada ayat yang berbunyi: 'ud'u 'ila sabili rabbika,bi al-hikmati wa al-mauizati al- hasanati wa iadil hum, bi al-lati hiya 'ahsan (ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan mau'izah hasanah dan ajaklah mereka berdialog dengan cara  yang terbaik).
Untuk masalah wawasan kebangsaan, NU menggunakan konsep fiqhi siyasah, yaitu bagaimana menghubungkan antara agama dan politik atau agama dan Negara.
Tawassut dan itidtil melahirkan langkah lanjutan, yaitu tasammuh, tawazun, dan tasyawwur (musyawarah). Tasammuh artinya adalah kestimbangan antara. prinsip dan pengharpan terhadap prinsip orang lain. Jika sudah melakukan tasammuh dan tawazun, maka akan terdorong untuk melakukan tasyawwur, yaitu melakukan dialog dalam setiap menyelesaikan persoalan.
Sebagai bentuk aplikasi dari Fikrah Nahdiyah, NU membuat harakah (Gerakan) yang mengejewantahkan fikiran-fikiran yang telah dirumuskan dalam upaya menyelamatkan umat manusia.
Hara­kah Nahdiyah me­miliki tiga ciri, yaitu harakah islahiyah (gerakan reformatif atau perbaikan), 'itidaliyah (gerakan moderatif), tawa­ zuniyah (gerakanseimbang).
Konsep harakah landasan teologisnya adalah Ma alaihi al-muassisin min aqwa lihim, wa taqrirotihim (apa yang dipegang teguh oleh para pendiri yang berupa ucapan, tindakan, dan ketetapan) selama periode tertentu. .
NU itu pada..awal berdirinya bukan hanya sebuah organisasi pemikiran, melainkan juga organisasi gerakan. Menurut KH. Ma'ruf Amin, pemikiran (fikrah) Nahdliyah itu mengalami tiga fase, yaitu Ta'sis (pendasaran), tajdidi (pembaharuan), dan tashih (pembenaran atau pelurusan). Sedangkan gerakan khittah meliputi dua hal, yaitu fikrah dan harokah.
Konsep fikrah, berdasarkan pada ma' ana alaihi wa ashabiy (apa yang dipegang teph oleh para sahabat Nabi).
Sedangkan konsep..harakah landasan teologisnya ma alaihi al-muassasin min aqwalihim wa af'alihim wataqrirotihim (apa yang dipegang teguh oleh para pendiri, yang berupa ucapan, tindak­an dan ketetapan) selama periode ter­tentu.
Fikrah Nahdliyah memiliki empat ciri, yaitu tawassut, tawazun, tasammuh, dan 'itidall.  Harakah dan fikrah diapli­kasikan oleb NU dalam bidang dakwah, pendidikan, dan politik.
Dengan demikian dalam pergaulan sehari-hari sikap seimbang menyerasikan hidmah kepada Allah subhanahu wata’ala, dan hidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidup merupakan konsekwensi logis dari karakter berfikir NU. Karena sikap seimbangnya, NU selalu dan senantiasa menjaga harmonisasi hubungan antara manusia dengan kholiknya, menjaga harmonisasi hubungan antara manusia dengan manusia dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam, sehingga NU sangat membenci orang yang merusak lingkungan.
Bagi NU harmonisasi hubungan antara manusia dengan kholiknya dimaknai Ibadah, sedang harmonisasi hubungan antara manusia dengan manusia dimaknai muamalah, dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam dimaknai mengolah. Sehingga demikian orang NU harus mengolah alam agar bermanfaat bagi kehidupan manusia, bukan merusaknya.
Dalam menyerukan ibadah, muamalah dan mengolah alam, NU selalu menerapkan perinsif Amar ma’ruf nahi munkar, selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Prilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap   kemasyarakatan Nahdlatul Ulama. membentuk prilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi,  yang selalu menjungjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam; mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi; menjungjung tinggi sifat keiklasan dalam berhidmah dan berjuang, menjungjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwah) persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi.
Warga NU selalu dan senantiasa: Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlak al-karimah) dan menjungjung tinggi kejujuran (ashshidqu) dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Menjungjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara. Menjungjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Menjungjung tinggi ilmu pengetahuan serta akhli-akhlinya. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan bermazdhab yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. Menjungjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat. Menjungjung tinggi kebersamaan ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peneliti dan pakar pemikiran Islam, Prof Abdurrahman Mas'ud, PHD menyebutkan pola fikir Aswaja yang diterapkan di NU itu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan guru para pendiri NU. KH Hasyim Asy'ari berguru kepada Syekh Khatib Minangkabau, KH Mahfuz at-Termasi (1258 W 1868), KH Nawawi al-Bantani (1813 w. 1897), dan KH Khalil al‑Bangkalani (1819 ‑1925).
Pola pikir para guru Kiai Hasyim Asyari ini lanjut ia, cenderung kepada ajaran 'ahlu as‑sunnah wa al­jamtiah, seperti KH Nawawi al‑Bantani, seorang ensiklopedis yang banyak menguasai berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. KH Mahfuz at-Termasi adalah salah seorang spesialisasi dalam bidang hadis. Sedangkan KH Khalil al‑Bangkalani adalah seorang ahji dalam bidang tasawuf.
"Karena Kiai Hasyim Asy'ari belajar kepada beherapa guru yang memiliki keahlian yang berbeda‑beda, maka hal itu ikut mempengaruhi terhadap pernikirannya dalam bidang keagamaan," jelas Direktur Pendidikan Tinggi Islam. (Diktis) Depag RI ini).
Menurut Ghazali Said, Syaikh Hasyim Asy'ari juga belajar kepada Syekh Khatib Sambas dan Sayyid Abbas al‑Maliki. Di samping pengaruh gurunya, juga konteks global dunia Islam pada abad ke19 cukup.mempengaruhi pendiri NU.  Menurut Ghazali Said, ada dua arus utama pemikiran dunia Islam saat itu. Pertama, yang ingin melepaskan dri dan ikatan pola pikiran madzhab empat. Kedua yang ingin melakukan tranfomasi pemikiran Islam tanpa harumeninggalkan pakeyang telah ditetapkan oleh madzhab empat yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, yang diteruskan oleh ulama pada abad‑abad berikutnya.
Namun pilihahan para pendiri NU lehih pada arus utama yang kedua, yaitu, yang mempertahankan konsepsi Islam 'ahlu as­ sunnah wa al‑jamdah," jelas Ghazali said. (Risalah  EDISI IV / TAHUN I / SYABAN 1428)

No comments:

Post a Comment