Sunday, March 25, 2012







 BAB VIII  NU MENJADI PARTAI POLITIK 



Ketidak harmonisan kaum tradisional dengan kaum modernis, telah memaksa Nahdlatul Ulama untuk menentukan sikap sendiri yaitu mendirikan Partai Nahdlatul Ulama, sehingga pada tanggal 28 April – 1 Mei 1952 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke sembilan belas  bertempat di Palembang.
Muktamarnya di Palembang tahun 1952, menegaskan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama, dimana dalam pembahasan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama  adalah “menegakkan Syari’at Islam, dengan berhaluan salah satu dari pada empat mazdhab: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali” serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.(Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Bisma satu Surabaya 1999)
Dengan penegasan Asas dan tujuan Partai, memperjelas arah dan tujuan perjuangan Nahdlatul Ulama dalam berbangsa dan bernegara. Pada bulan Juli 1953, Nahdlatul Ulama masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, disini Nahdlatul Ulama memainkan perannya, bukan saja Mentri Agama yang dipegang orang Nahdlatul Ulama, juga Mentri Pertanian, dan bahkan Wakil Perdana Mentri, dengan demikian peran dan fungsi Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa ini bukan sekedar pada segmen agama saja melainkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, terutama yang berkait erat dengan kekuasaan Negara.
Pada tahun 1954, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Konferensi Alim Ulama yang diselenggarakan di Cipanas Jawa Barat dengan keputusan mengangkat Soekarno dan pemerintahannya sebagai “Walyyul Amri ad-daruri bisy-syaukah”, gelar ini menjadikan Soekarno menjadi kepala negara yang sah. Penganugrahan gelar kepada Soekarno, disamping sebagai sebuah bentuk legalisasi terhadap khalifah (penguasa), hal lain juga merupakan pengakuan bahwa keberadaan Soekarno sebagai pemimpin negara (Presiden), hanya sebatas dalam keadaan darurat. 
Pada tanggal 9 - 14 September 1954  Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke dua puluh diadakan di Surabaya. Dalam masalah politik dibahas mengenai strategi Nahdlatul Ulama sebagai sebuah partai politik dalam memainkan perannya.
Pada Pemilu tahun 1955, Nahdlatul Ulama mendapat sukses yang luar biasa, dari 8 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, suara terbanyak yang diperoleh Nahdlatul Ulama dari Jawa. Kemenangan Nahdlatul Ulama diparlemen menambah kiprah NU dalam membuat kebijakan negara, Peran Politik NU semakin menonjol meninggalkan ORMAS Islam modern yang dulu mengucilkan NU.
Sebagai bentuk kegiatan rotin organisasi yang harus dilaksanakan dalam keadaa apapun, pada bulan Desember 1956 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke XXI diadakan di Medan. Dalam muktamar ke XXI tidak dilakukan batsul Masail diniah, hal ini disebabkan terkonsentrasinya para tokoh Nahdlatul Ulama pada politik kenegaraan. Hal ini dapat dimaklumi, disamping status NU sudah bergeser dari Ormas Islam yang bersifat Tradisional menjadi partai politik modern yang memperoleh jumlah kursi yang signipikan, juga keadaan negara, memaksa NU harus konsen pada masalah politik, karena suhu politik negara pada waktu itu tidak setabil. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada tanggal 14 Maret 1957 terjadi perubahan besar, kabinet Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri setelah mengumumkan SOB (Keadaan Bahaya). Dalam keadaan cukup genting NU masih stabil memainkan peran politiknya, dengan melakukan bargaining dengan Nasionalis. Pada bulan April 1957 lewat Presiden Soekarno berhasil membentuk kabinet baru dibawah Ir..Djuanda Kartawidjaja. Kabinet ini merupakan kwalisi PNI dan NU. 
Pada Tahun 1957 Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi terpimpin. PKI menyatakan setuju dengan konsep Soekarno ini seperti PNI dan Murba. Masyumi dan Partai Katolik menolak dengan keras, sedangkan Nahdlatul Ulama, PSI dan Partai lainya menolak secara kurang tegas.
Dalam sidang Pleno tanggal 9-10 Maret 1957, NU menyetujui gagasan Presiden Soekarno dengan syarat: “Dewan Nasional hanya berfungsi sebagai penasehat dan tidak mempunyai konsekwensi politis dan pembentukannya dilakukan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.
Demokrasi Terpimpin ditegakkan. Kabinet Karya dengan Soekarno sebagai Perdana Menteri diumumkan, tanggal 9 juli 1957  Menteri-menteri Kabinet Karya itu tidak lagi dianggap sebagai kader masingmasing partai. Mulai ada menteri yang berhaluan kiri, meskipun bukan anggota PKI, yang masuk dalarn kabinet.
 Dewan nasional diganti dengan Dewan Pertimbangan Agung dan satu Dewan Perancang Nasional dibentuk. Masyumi dan PSI tidak termasuk di dalamnya. Tanggal 17 Augustus, Soekarno mengumumkan ideologi Demokrasi Terpimpin, yang kemudian dinamakan Manipol-Usdek (UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia).
Pada awal tahun 1960, semua partai politik diminta mengubah anggaran dasarnya dan secara jelas menyatakan menerima Pancasila dan bersedia membelanya. Semua partai harus memiiki wawasan nasional dan tidak boleh terlibat dalam pemberonakan apa pun. Juga dipersiapkan peraturan bagi pembentukan sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. yang terdiri dari DPR, 94 wakil daerah dan 200 wakil Colongan fungsional.
Waktu DPR mengancam untuk tidak menyetujui anggaran negara, Soekarno langsung membubarkannya pada bulan Maret 1960. Sebagai reaksi, PSI dan Masyumi membentuk Liga Demokrasi. Tidak lama kemudian, sebuah dewan baru, DPR Gotong Royong dibentuk pada bulan Juni 1960, separuh anggotanya diambil dari partai politik dan separuh lainnya dari Golongan
Karya ditambah seorang wakil untuk Irian.
 Di DPR yang baru ini terdapat wakil dari NU sebanyak 36 orang, PNI 44, PKI 30 (Masyumi dan PSI tidak mendapat kursi) dan Golongan Karya
130 (nantinya menjadi 152 wakil), 34 di antaranya dari Angkatan Bersenjata.
NU mengalami perpecahan pendapat mengenai keabsahan keikutsertaannya dalam DPR yang baru ini. Di satu pihak, Kiai Bishri Syansuri, Dachlan, Imron Rosyadi dan Kiai Achmad Siddiq menganggap DPR ini anti-demokrasi. Bagi Kiai Bishri, salah seorang pendiri NU dan saudara misan Kiai Wahab, ikut serta dalam sebuah DPR yang tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat bertentangan dengan fikih.  Di pihak lain, Kiai Wahab Hasbullah menjelaskan bahwa NU tidak punya pilihan: ia memaparkan semuanya, dari kemungkinan dilarangnya NU hingga keluamya partai tradisionalis ini dari pemerintahan. Baginya, umat Islam masih belum siap melakukan politik konfrontasi menghadapi penguasa dan apabila suatu waktu NahdIatul Ulama ingin meninggalkan DPR, ia akan selalu dapat melakukannya.
NU harus ikut dalam DPR ini untuk membetulkan kesalahan-kesalahan pemerintah yang akan dibentuk menurut prinsip yang dilandaskan pada AI-Qur'an: amar ma'ruf nahi munkar (menganjurkan yang baik dan melarang yang jelek). Prinsip fikih "darul-mafasid muqaddamun 'ala jalbil masalih" juga disebut, prioritas untuk menghindarkan bahaya, yaitu bahaya vakum yang bisa muncul bilamana DPR lama dibubarkan. Dengan kata lain, the lesser evil, yang terbaik dari yang buruk, yang dipilih.
Selain itu, NU juga meminta agar segera diadakan pemilu baru. Ada prinsip, lain yang disebutkan: "ma la yatimmul wajib illa bihi fa huwal wajib", yang berarti syarat untuk dapat melakukan kewajiban menjadi wajib sendiri atau partisipasi akan memungkinkan perbaikan situasi. Yang terakhir adalah prinsip fikih "ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh": kewajiban tidak boleh ditinggalkan dengan -alasan tidak bisa dilakukan secara penuh.
 Syuriah NU tidak. setuju dengan Kiai Wahab yang berpendapat keikutsertaan mereka merupakan jalan keluar yang paling ideal, namun demikian menerima gagasan Rais Am agar anggota partai Islam ditambah. Setelah permintaannya tidak dikabulkan, ia menyerahkan kepada para anggota DPR dari NU untuk memutuskan sendiri keikutsertaan mereka masing-masing. Tampaknya dilema itu sangat sulit dipecahkan karena. beberapa di antara mereka sampai menyerahkan keputusannya pada nasib. Kiai Masykur, misalnya, (yang setuju dengan Parlemen) meminta kepada Kiai Bishri untuk mengundi. Kertas yang diambil oleh kiai terakhir ini bertuliskan "ikut", dan ini diartikan oleh Kiai Masykur sebagai izin baginya dan bagi Ibu Wahid Hasyim untuk tetap menjadi anggota DPR. Sebagian besar di antara mereka memilih jalan ini, sedangkan Imron Rosyadi dan Moh. Dachlan bergabung dalam Liga Demokrasi bersama para penentang Demokrasi Terpimpin lainnya. Imron Rosyadi dan beberapa elemen PSI menginginkan Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan dan membubarkan PKI. (Imron Rosyadi kemudian dipenjara. Beserta para aktivis PSI, ia berusaha mendorong Angkatan Bersenjata untuk mengambil kekuasaan dan untuk melarang PKI (Reeve 1985: 165; Feith, 1963: 343).
Masyumi dan PSI secara resmi dilarang bulan Agustus 1960, karena keikutsertaan mereka dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Itu berarti kaum tradisionalis tinggal sendiri di antara partai Islam di panggung politik. Kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan pada profil para aktivisnya: mulai ada aktivis dari kalangan santri non-NU yang masuk dalam partai NahdIatul Ulama yang sekarang merupakan satu-satunya wadah Islam politik yang bermakna. Citra NU juga menjadi lebih urban berkat generasi baru yang sedang muncul, yang mendapat pendidikan umum, bukan pendidikan pesantren saja seperti zaman dahulu.
Untuk sementara, ulama-ulama merasa bersyukur karena telah meng hindari konfrontasi. Namun, sambil menunggu perombakan partai-partai seperti yang diumumkan, NU tetap merasa sangat was-was terhadap masa depannya khususnya karena menganggap Presiden Soekarno memberi angin kepada PKI dengan semboyan persatuan Nasakom. Beberapa aktivis yang diliputi rasa bimbang mengusulkan agar NU tidak lagi melibatkan dirinya dalam kegiatan politik dan lebih baik meningkatkan kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan.
Pada bulan April 1961, NU dapat bernapas lega karena secara resmi diakui di antara delapan partai politik yang diizinkan pemerintah. Saat itu anggotanya mencapai 522.413 orang.
Gagasan persatuan Nasakom, yang memberi status yang terlindungi kepada PKI digunakan Soekarno untuk mengimbangi Angkatan Bersenjata yang semakin memantapkan kedudukannya untuk menghadapi PKI. NahdIatul Ulama tambah dekat dengan ABRI karena menghadapi musuh yang sama: Partai Komunis. Lagi pula, keduanya mempunyai keluhan masingmasing. Di satu pihak, landreform yang disetujui DPR-GR pada tahun 1960, Peraturan Pemerintah yang kemudian ditetapkan pada tahun 1962 dan undang‑undang pembagian hasil panen, mengancam kepentingan para pemilik tanah NU. Landreform secara khusus merugikan para ulama yang memiliki tanah yang luas (termasuk wakap) atau yang diserahi tanah orang lain yang berusaha menghindari penyitaan.
Seperti halnya tentaraNU menanggapi pengorganisasian PKI dengan ketegasan yang sama. Organisasi yang di bawah naungan PKI ditandingi oleh organisasi massa seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ansor dengan Bansemya (Barisan Ansor Serba Guna), lembaga dakwah Missi Islam, perkumpulan artis LesbumiHimpunan Pengusaha Muslimin Indonesia (HPMI), dll. Keikutsertaan PKI dalam pemerintahan setempat selalu dihalangi oleh NU.

Pada tahun 1963, Idham Chalid merupakan satu‑satunya pemimpin partai politik yang membela organisasi yang dibentuk oleh Angkatan Bersenjata untuk mengelompokkan karyawan, yang bukan komunis, Soksi (Serikat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia). Ia menyerukan kerja sama antara NU dan Soksi. Soksi itu mengusahakan kerja sama di antara golongan karya demi mengimbangi partai-­partai yang disusun atas dasar Nasakom sampai akhirnya dibentuk Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Organisasi‑organisasi Golongan Karya).
Sejak tahun 1963, Ansor telah mengarahkan anggotanya mengikuti latihan militer. Kiai‑kiai dari Krangsaan dan Probolinggo didatangkan untuk "mengisi" para pemuda dengan kekuatan magis. Hubungan antara NU dan militer juga bertambah erat lewat veteran‑veteran seperti Yusuf Hasyim dan M. Munasir. Ketika NU memutuskan untuk bereaksi terhadap aksi buruh tani yang terorganisir dalam Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk melaksanakan landreform (aksi sepihak), mereka mengadakan konsultasi dahulu dengan Angkatan Bersenjata. Pada tahun 1964, bentrokan semakin sering terjadi antara Banser dan BTI, terutama di jawa Timur.
Presiden Soekarno berusaha meredakan konflik itu tetapi tidak berhasil. Polarisasi kanan‑kiri makin lama makin ekstrem. Sebenarnya, sampai tahun 1963, "Demokrai Terpimpin" dapat dikatakan masih berjalan cukup baik. Tetapi, Agustus‑September tahun itu merupakan momen penting setelah Soekarno memilih Konfrontasi dengan Malaysia ketimbang bantuan IMF. Ekonomi Indonesia yang sudah melemah setelah pemgambil‑alihan perusahaan Belanda, menjadi makin buruk. Konteks internasional juga ikut memainkan peran dalam menarik Soekarno ke kiri.
Pada bulan Mei 1965, Kolonel Boumedienne yang berhaluan kiri mengambil alih kekuasaan di AIjazair, sedangkan Amerika mesti menambah pasukannya di Vietnam Selatan. Soekarno seperti menjadi yakin sejarah ada di pihak.golongan kiri.
Pada awal 1965, Subandrio, orang kedua pemerintah yang dekat dengan komunis, mengucapkan pidato yang bernada sangat emosional pada ulang tahun Duta Masyarakat, harian NU: "Saya sudah melihat tanda‑tanda bahwa dalam tahun 1965 ini akan terulang lagi, kita akan berpisah dengan teman‑teman dari kemarin atau kemarin dulu".
Semua itu mencapai puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965. Pada dua bulan sebelumnya, Presiden Soekarno jatuh sakit, isu-isu mengenai sakitnya Soekarno, mengenai kudeta yang disiapkan oleh PKI, atau sebagian dari ABRI, mengenai persiapan persenjataan partai politik, ketegangan yang muncul karena konfrontasi dengan Malaysia, dan situasi ekonomi yang bertambah buruk, semuanya bergabung menyiapkan NU bagi peristiwa yang penting.
Pada pagi tanggal 1 Oktoberenam Jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Setelah itu, ada perwira menengah berhaluan kiri yang menyatakan di radio bahwa mereka akan melindungi Soekamo dari kudeta yang disiapkan oleh jenderal yang pro‑CIA.
Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, jenderal Suharto, Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menggilas gerakan itu. Peranannya dalam peristiwa ini banyak sekali menimbulkan perdebatan, tetapi bukan maksud kami di sini untuk menguraikannya. Yang jelas, ini merupakan langkah awal menuju suatu pemerintahan baru yang dimulai dengan gelombang anti‑komunisme yang sangat dahsyat. Bagi NU, dilema antara rasa permusuhan terhadap PKI dan rasa sayang terhadap Presiden Soekarno yang tidak mau melarang partai komunis menjadi semakin pelik. Tapi pilihan NU konsisten untuk menyelamatkan NKRI.
PERAN NU DALAM MENUMPAS  PK I
Pada tanggal 30 September 1965 PKI melakukan pemberontakan yang dikenal Gerakan 30 September. Kekerasan-kekerasan telah muncul secara sporadis saat terjadi aksi sepihak yang seperti telah kita Iihat dilakukan PKI untuk melaksanakan land-reform yang didengungkan sejak 1964. Pihak komunis menyebut para pemilik tanah muslim sebagai "setan desa" atau "bojuis", sebagai refleksi dari pertikaian antar kelas terselubung antara ulama-ulama pemilik tanah dengan buruh tani. Perseteruan itu semakin seru dengan semakin besarnya PKI. Pada bulan Mei 1965 PKI mengaku memiliki 3 juta anggota partai dan 20 juta anggota organisasi-organisasinya.
NU mempersiapkan diri menghidapi pertempuran-pertempuran yang diduga akan semakin gawat. Organisasi kepemudaan NU, Ansor, membentuk Barisan .Serba Guna (Banser) pada tahun 1964, karena merasa yakin PKI telah merembes ke dalam tubuh Angkatan Bersenjata. Cabang-cabang di daerah diperintahkan untuk siaga.
Tanggal 30 September 1965, Nahdlatul Ulama melakukan rapat darurat yang memutuskan bahwa para pemimpin NU yang sudah lanjut usia harus segera meninggalkan rumah mereka untuk bersembunyi tanpa keluar kota. Mandat kepemimpinan diserahkan kepada Zainuri Echsan Subchan yang masih berumur 34 tahun, yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua IV PBNU. Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jendral Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Jendral Suharto yang saat itu masih panglima kosrad dalam pidatonya menyatakan akan membasmi komunis hingga ke akar-akarnya.
Tanggal 3 Oktober 1965, Pimpinan Ansor secara resmi minta pada anggotanya untuk dengan jalan bagai manapun membantu pihak ABRI untuk memulihkan keamanan dan menjaga keutuhan bangsa serta menyelamatkan revolusi dibawah pimpinan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi / Pahlawan Islam dan Kemerdekaan, Bung Karno. Untuk itu, dalam rangka menumpas G 30 S dan antek-anteknya, para anggotanya diharapkan menunggu dan hanya melaksanakan intruksi dari pimpinan koordinasi Djama’ah NU yang telah dibentuk di pusat dan yang akan dibentuk di daerah. 
Tanggal 4 Oktober 1965, KAP-Gestapu (KAP-Gestapu didirikan oleh Zainuri Echsan Subchan dengan Herry Chan Silalahi dari partai Katolik) mengadakan demontrasi pertama yang menuntut pelarangan partai-partai yang telah merencanakan atau mendukung “Gerakan 30 September” yaitu PKI dan ormas-ormasnya yang mendalangi dan bersimpati terhadap G 30 S. Tanggal 4 Oktober 1965, malam harinya televisi dan radio menyiarkan pernyataan yang menuntut dibubarkannya PKI, gerak serta media-medinya, dan menyerukan kepada semua kaum muslimin agar mendukung ABRI untuk memulihkan ketentraman umum.
Pada tanggal 6 Oktober 1965, PKI secara resmi menyerahkan penyelesaian masalah kudeta kepada Presiden Soekarno dan memutuskan untuk menghindari perlawanan Fisik.
Tanggal 7 Oktober 1965, Koran harian Nahdlatul Ulama Duta Masyarakat, ditajuk rencananya menyatakan: Bahwa keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah memberantas komunis, akar-akarnya, komplotannya, pembelanya dan semua yang bertindak bersamanya, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Sejak tanggal 8 Oktober 1965, pemuda muslim membakar markas besar PKI di Jakarta, mengobrak abrik dan menjarah rumah tokoh komunis. Gelombang penangkapan tokoh komunis dilakukan oleh Angkatan Bersenjata menyusul pada hari berikutnya.
Pada tanggal 14 Oktober 1965, Soekarno dipaksa mengalah pada Angkatan Bersenjata dan mengangkat Soeharto sebagai Mentri / Panglima AD menggantikan Jendral Ahmad Yani. Tanggal 17 Oktober1965, komando Angkatan Darat dikirim ke Jawa Tengah untuk menormalkan situasi. NU membantai komunis di Jawa Timur diwilayah kekuatannya, sejak saat itu pemuda Ansor menghabisi komunis. Di Jombang kota kelahiran NU, aksi-aksi anti komunis dimulai lebih awal, tanpa menunggi Angkatan Bersenjata, dan meluas hingga daerah-daerah sekitarnya.  Dilain tempat Kiai Machrus Ali melarang para pemuda membunuh orang komunis yang untuk melindungi dirinya mengucapkan kalimat syahadat dan dengan demikin secara langsung memeluk Agama Islam.( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
Bulan Desember 1965, setelah turunnya perintah Panglima Daerah Militer, partai dan ormas Islam menempatkan diri di belakang tentara dalam kampanye anti komunis.
Pada bulan Desember 1965, sebuah tim angket resmi menyimpulkan jumlah korban yang jatuh adalah 78.500 jiwa di seluruh Indonesia, suatu angka yang dikecilkan oleh tim agar tidak menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Meskipun demikian Soekarno tetap menyalahkan Ansor atas “Kanibalismenya”. Untuk mengobati kekecewaan Soekarno terhadap Ansor yang dipandang sebagai kanibal, pada tanggal 30 Januari 1966, pada hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ke 40 yang dirayakan besar-besaran, Idham Chalid menyatakan “Nahdlatul Ulama akan hidup dan mati bersama-sama Bung Karno untuk Allah".
Berbeda dengan sikap Soekarno yang mempersalahkan Ansor, Panglima Daerah Militer Jawa Timur, Mayjen Basuki Rachmat pada bulan Februari 1966, mengucapkan selamat atas kerja sama yang baik dengan Nahdlatul Ulama beserta pemudanya dalam membasmi PKI.
Dalam upaya menjaga hubungan baik dengan Soekarno pada bulan Juni 1966, Kiai Wahab Hasbullah menyatakan lagi dukungannya terhadap Soekarno, dengan menegaskan Nahdlatul Ulama akan mengajukannya sebagai calon di semua Pemilihan Umum mendatang. Situasi politik paska G 30 S PKI terus memanas, masyarakat yang dipelopori mahasiswa mendesak Soekarno untuk meletakan jabatan, puncaknya pada  tanggal 11 Maret 1966, terjadi pelimpahan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto, lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Soekarno memerintahkan Jendral Suharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan demi menjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintahan dan jalannya Revolusi, dengan tetap menjaga keamanan pribadi dan kekuasaan Presiden. 



No comments:

Post a Comment