Sunday, March 25, 2012








BAB IX NU  DIZAMAN ORDE BARU 




Selang beberapa lama setelah penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Suharto (11 Maret 1966), Mejlis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengalami perombakan, sebagian diserahkan pada NU, sehingga terjalinlah satu kerjasama antara ABRI dan gerakan tradisional, persekutuan yang diibaratkan oleh Achmad Sjaichu, wakil ketua II Nahdlatul Ulama, sebagai hubungan antara saudara sekandung. Peran penting yang dimainkan Nahdlatul Ulama dalam mendudukan Suharto segai Presiden sangat ditentuka oleh dua tokoh yang memaikan peran yang menentukan, yaitu KH. Achmad Sjaichu sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR), dan Subchan ZE (Nama lengkapnya Zainuri Echsan Subchan)  di Mejlis Permusyawaratan Sementara (MPRS).
Pembersihan PKI dalam tubuh DPR-GR telah dimulai sejak tahun 1966. Tanggal 8 April, reorganisasi pertama telah memaksa 62 anggota PKI meninggalkan DPR-GR. Kemudian pada tanggal 17 Mei 1966, lima belas hari setelah pengangkatan Achmad Sjaichu sebagai ketua DPR-GR, sekitar 136 komunis anggota DPR-GR yang terbunuh atau ditahan digantikan. Tanggal 20 Juni sampai dengan tangal 6 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Soekarno, Sidang Mejlis mengesahkan kekuasaan luar biasa Surat Perintah 11 Maret.
Tanggal 25 Juli 1966, kabinet Ampera terbentuk, Nahdlatul Ulama menempati posisi Mentri Agama dan Mentri Kesejahtraan Rakyat. Tanggal 10 Januari 1967, melalui sebuah pidato Soekarno menyangkal bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa 1965. Namun penjelasan itu ditolak oleh para mahasiswa maupun kalangan radikal NU. Yusuf Hasim wakil ketua I Ansor, menuntut agar peran Soekarno dalam kudeta diperiksa dan keadilan diterapkan kepadanya seperti kepada rakyat lainnya. Achmad Sjaichu mendukung tuntutan tersebut.
Pada tanggal 27 Januari 1967, melalui Dekrit Presiden, anggota DPR-GR yang berjumlah 242 anggota ditambah 108 anggota, sehingga berjumlah 350 orang. Awal Februari 1967, Nurdin Lubis, juru bicara kelompok NU di DPR-GR, mengusulkan kepada kelompoknya sebuah momerandum yang berisi 10 halaman. Isi momerandum itu menolak laporan Soekarno mengenai perannya dalam Gerakan 30 September 1965. Dalam rencana resolusinya, Lubis meminta agar dilangsungkan suatu sidang istimewa MPRS untuk mencopot Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden, pengadilan menyelidiki peran Soekarno dalam peristiwa G 30 S, dan dipilihnya seorang presiden baru secara ad interim.
Tahun 1967, calon yang ditampilkan untuk kursi Presiden adalah Jendral Nasution. Ketika Nurdin Lubis mengajukan resolusi agar Soekarno dicopot dari jabatannya sebagai Presiden, NU masih belum mempunyai calon Presiden baru, sementara ABRI mencalonkan Suharto. Mengingat kegigihan Suharto dalam memberantas PKI dan Suharto orang Jawa, meskipun orang mengatakan ia tidak taat menjalankan ibadah dan dekat dengan aliran kejawen, namun ia juga pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah, atas dasar itu Nahdlatul Ulama tidak keberata. Tanggal 23 Februari resolusi kedua yang dikeluarkan oleh Djamaluddin Malik anggota DPR-GR dari Nahdlatul Ulama disahkan.. Resolusi ini meminta agar MPRS mengangkat Jendral Suharto menjadi Presiden republik Indonesia. Tanggal 8 hingga 11 Maret 67 MPRS bersidang, hasilnya mencopot semua kekuasaan Soekarno dalam pemerintahan serta melarangnya melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum mendatang. Suharto dianngkat menjadi Presiden ad-interim. Dizaman pemerintahan baru yang kelak akan dikenal dengan sebutan Orde Baru.
Andil Nahdlatul Ulama dalam mengangkat karier politik Suharto terlihat melalui Resuffel DPR-GR dan dua resolusi yang mengabsahkan peralihan kekuasaan ke tangan Suharto.Yang perlu diketahui  sampai tahun 1971, system politik masih menggunakan warisan Orde Lama. Atas dasar itu Subhan ZE melancarkan kritik-kritiknya yang makin tajam. Hal lain yang menyebabkan terjadinya banyak pertikaian terutama soal pelaksanaan Pemilihan Umum yang sejak tahun 1955 belum pernah diadakan lagi. ABRI karena belum memiliki partai Politik berusaha mengulur waktu untuk penyelenggaraan pemilu. Tahun 1967 Ansor meminta agar Pemilihan Umum diselenggarakan paling lambat tahun 1967, namun  MPRS memutuskan Pemilu diselenggarakan paling lambat tanggal 5 Juli 1968.
Pengaktifan kembali Penetapan Presiden (Penpres 2/195) yang melarang para pejabat tingga menjadi anggota Partai Polliti menimbulkan  reaksi yang keras. Sebagai pemegang Departemen Agama NU terkena aturan itu.( Dizaman Orde Lama, NU terkena aturan itu dan terulan kedua kalinya di zaman Orde Baru)
Diantara para politisi Nahdlatul Ulama banyak yang menjadi pegawai negri, reaksi Subchan dan Mohammad Dachlan menuntut pembatalan PenPres tersebut. Ancaman yang lebih menyerukan mulai terasa ketika rancangan undang-undang politik diajukan pada akhir November 1966. Rancangan undang-undang mengenai Partai Politik ini menuntut mereka juga organisasi-organisasi sosial lain, untuk mencantumkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas. Ide ini muncul dalam seminar Angkatan Darat di Bandung tahun 1966. Menurut rancangan undang-undangtersebut, partai-partai menjadi tiga kelompok, yaitu Nasional, Agama dan Sosial-Pancasila. Pemerintah mempunyai hak untuk membubarkan partai, Pencalonan Presiden secara independen tidak diperbilehkan, partai baru tidak diizinkan dibentuk. Golongan liberal Nahdlatul Ulama memprotes usaha untuk memberikan 50% kursi di DPRD, DPR dan MPR kepada Golkar dan Angkatan Bersenjata, suatu gagasan yang menyerupai Dewan Nasional tahun 1958.
Kritik-kritik mulai dilontarkka kepada Pemmerintahan Orde Baru, terutama dibidang kebijakan ekonomi yang mematikan pengusaha kecil. Dalam waktu dua tahun sesudah ABRI berhasil menggantikan rezim Orde Lama, telah muncul banyak sumber ketidak cocokan. NU secara bertahap menjadi kelompok Oposisi. Perbedaan prinsip kalangan Nahdlatul Ulama dengan ABRI dari hal-hal tersebut diatas telah menjadikan kedua kelompok kekuatan tersebut berhadap-hadapan.
Pemilu tahun 1971 telah memberi cukup waktu pada ABRI (Golkar) untuk berbenah diri. Peraturan politik yang melarang pegawai negri  untuk bergabung dengan suatu Partai disatu pihak, sementara dipihak lain pegawai negri harus monoloyalitas, artinya pengawai negri harus memilih Golkar telah merugikan kalangan NU. Disamping hal tersebut diatas Golkar telah banyak melakukan kecurangan melalui intimidasi, tidak sedikit warga Nahdlatul Ulama yang ketakutan karena diintimidasi. (Banyak orang NU yang ditodong senjata oleh Danramil agar memilih Golkar.).
Hasil kecuranganya Golkar mengasilkan 231 kursi di DPR (68,8%) melawan Nahdlatul Ulama dengan 58 Kursi (18,7%), PNI dan Parmusi, mendapatkan masing-masing 6,9% dan 5,4%. Kemenangan Golkar berkat kegigihan dan kerja keras Babinsa yang menakut-nakuti masyarakat desa. Akibat persaingan dengan Golkar yang semakin terbuka, NU kehilangan Departemen Agama. Selanjutnya yang diangkat menjadi Mentri Agama adalah Mukti Ali Sebagai sorang dosen otomatis Mukti Ali anggota Kopri dengan kata lain dia seorang Golkar, seorang muslim modernis.
Sejarah terus berulang, habis manis sepah dibuang, itulah pepatah yang pantas ditimpakan pada NU. Dulu NU yang ikut mendirikan Masumi, setelah kuat NU dibuang, Kemudian NU yang menyokong Orde Baru, setelah kuat NU dibuang. Pada mula pemerintahan ORDE BARU, NU menyokong suharto habis-habisan, seperti kita ketahui Andil Nahdlatul Ulama dalam mengangkat karier politik Suharto terlihat melalui Resuffel DPR-GR dan dua resolusi yang mengabsahkan peralihan kekuasaan ke tangan Suharto.


 NU PUSI MEMBUAT
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN


Setelah kehilangan Departeme Agama, Nahdlatul Ulama dikejutkan kembali dengan penggabungan partai-partai politik menjadi dua partai, NU, Parmusi, PSII dan Perti digabung menjadi PPP, sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba menjadi PDI ditambah satu Golongan yaitu Golkar.
Sebagai bentuk kelanjutan dari pusi pada tanggal 5 Januari 1973, PPP dibentuk dengan tujuan mempertahankan dan membangun negara Republik Indonesia atas landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Ketua umum DPP PPP diberikan kepada H.M.S. Mintareja dari Parmusi, sedangkan  Nahdlatul Ulama, menduduki Sekretaris Jendral yang dijabat oleh Jahja Ubaid. Tiga badan lain dalam  DPP PPP diserahkan pada NU, yaitu, Presiden, Ketua Mejlis Pertimbangan Partai dan Mejlis Syura. Akan tetapi dalam operasional Partai, ketua umum yang sangat menentukan, sebab di DPP ketua umum memegang peran-peran yang sangat penting.
Semula dipusikannya Partai Nahdlatul Ulama ke PPP tidak ada masalah, tahun 1975 terjadi consensus, dalam consensus disebutkan bahwa distribusi kekuasaan antar unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur seperti perimbangan hasil Pemilu 1971, namun pada kenyataan, ketika pemilu 1977, berlangsung PPP berhasil menambah perolehan suara 5 kursi, konsensun 1975 dihianati, sehingga Nahdlatul Ulama kehilangan 2 kursi.
Terbentuknya satu partai Islam ternyata merupakan perangkap bagi Nahdlatul Ulama, setiap mendekati Pemilu konplik internal dikalangan partai semakin menguat, hal ini merupakan iklim yang sengaja diciptakan untuk mengembosi Nahdlatul Ulama. Tidak cukup sampai disana dalam upaya melemahkan kekuatan Nahdlatul Ulama, pada tahun 1975, rezim Orde Baru membentuk Mejlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai tandingan Nahdlatul Ulama.
Peningkatan 2% di kalangan Islam pada pemilu 1977, membuat Golkar kawatir, untuk mengantisipasi semakin solidnya umat Islam, pada bulan Juli 1978, Golkar mendirikan Mejlis Da’wah Islamiyah Golkar yang bekerjasama dengan GUPPI.
Tahun 1978 pucuk pimpinan PPP yang semula dipegang H.M.S. Mintareja, diambil alih oleh Islam Modernis dengan tampilnya John Naro, dengan tampilnya John Naro kalangan tradisional  semakin terpinggirka. NU menelan kekecewaan yang kesekian kalinya. Pengangkatan John Naro tidak terlepas dari sekenario Ali Murtopo. Bagi Ali Murtopo, Naro merupakan satu-satunya orang yang dapat mengalahkan primodialisme. Kelicikan Golkar dalam memainkan politik, bukan hanya sekedar mengerogoti dari luar, akan tetapi sudah merusak kedalam dengan dimasukannya John Naro ke PPP dimana didalammnya ada NU, menyikapi hal itu pada tahun 1979, Muktamar NU ke XXVI digelar, yang diselenggarakan di Semarang. Akibat terakumulasinya kekecewaan kalangan Nahdlatul Ulama, dan semakin renggangnya hubungan Idham Cholid sebagai ketua Nahdlatul Ulama dengan beberapa ulama berpengaruh, membuat Rais “Aam K.H. Bisri Syamsuri sempat menentang pengangkatan K.H. Idham Cholid sebagai ketua umum tanfizdiyah Nahdlatul Ulama, yang kemudian sikap ini diikuti oleh ulama sepuh K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo.( A.Efendi Choeri. PKB Politik Jalan Tengan NU, Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif Pasca kembali ke khittah 1926, Pustaka Ciganjur Januari 2002.)
Memasuki Pemilu 1982, PPP mengasumsikan perolehan suara sama dengan pemilu 1977, namun seperti yang telah saya urai terdahulu mengenai konsensus 1975, sebagai sebuah kesepakatan fusi, bahwa distribusi kekuasaan antar unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur seperti perimbangan hasil Pemilu 1971,  kini mulai diusik oleh MI, MI menuntut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi jatah Nahdlatul Ulama, perimbangan yang diusulkan MI sebagai berikut: Nahdlatul Ulama 49, MI, 30, SI, 15, dan Perti 5. Perimbangan seperti ini jelas sangat merugikan Nahdlatul Ulama.
Tanggal 27 Oktober 1981, Naro menyerahkan daftar caleg PPP  kepada pemerintah, 29 caleg  Nahdlatul Ulama ditempatkan pada urutan terbawah sehingga kemungkinan untuk terpilih tidak ada. Konplik Nahdlatul Ulama dan MI dalam PPP semakin melebar, sampai akhirnya 29 orang tokoh Nahdlatul Ulama harus tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP. Nahdlatul Ulama sangat kecewa, namun gagasan pengundurandiri Nahdlatul Ulama dari PPP menjelang pemilu tampak sukar dilaksanakan karena akan mengganggu stabilitas system politik.
Hasil Pemilu tahun 1982, Nahdlatul Ulama kehilangan 5 kursi, di banding hasil pemilu tahun 1977, hal ini disebabkan PPP yang telah disetir Golkar, juga kecurangan-kecurangan lain yang telah dilakukan Golkar di desa-desa.( Kampanye Pemilu tahunn 1982 memakan korban 50 orang meninggal dunia.)

Tekanan Golkar dari luar yang semakin kuat ditambah tekanan dari dalam dimana PPP sudah terkontaminasi dan tidak pernah konsisten dengan janjinya terutama dalam hal pembagian jatah kursi, membuat NU semakin pesimis dengan politik, pada tanggal 5-11 Juni 1979, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke XXVI bertempat di Semarang. Di tengah polemik pengunduran Nahdlatul Ulama dari Politik, para ulama memutuskan untuk memecat Idham Chalid, kemudian para ulama pergi ke Jakarta untuk bertemu Idham Chalid dan menyuruh mundur. Tanggal 6 Mei 1982, tepatnya setelah pemilu 1982, dilangsungkan, Idam Chalid menandatangani surat pengunduran diri.



No comments:

Post a Comment