Thursday, March 17, 2011

BAB X NU DAN NKRI DALAM BAHAYA







 BAB X NU KEMBALI KE KHITHOH





Pada bulan Agustus 1983, Presiden Suharto kembali kerencana semula, semua organisasi keagamaan diminta menerima Pancasila sebagai satu- satunya asas. Undang-undang keormasan menjadikannya sebagai syarat bagi organisasi-organisasi tersebut untuk tetap boleh melanjutkan kegiatannya.
Nahdlatul Ulama menentang keras rencana tersebut karena dengan Pancasila menjadi asas tunggal, mungkin saja lama kelamaan akan menggantikan agama Islam.
Tahun 1983, Presiden Suharto menyerahkan Departemen Agama kepada Munawir sjadzali, seorang muslim modernis yang dekat dengan kalangan Islam Progresif, dan dia juga dekat dengan Nahdlatul Ulama, karena dimasa mudanya pernah tinggal dirumah Wahid Hasim untuk beberapa lama, hubungan Nahdlatul Ulama pemerintah mulai didekatkan, terjadilah kompromi pancasila.
Pada bulan September 1983 Kiai As’ad menghadap Presiden untuk meminta izin mengadakan musyawarah Nasional Para Ulama. Kepada Presiden Kiai As’ad kembali mengajukan pertanyaan, yaitu apakah sila pertama Pancasila benar-benar berarti mengakui tauhid. Presiden Suharto secara singkat membenarkannya seraya menganggukan kepala.( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
Bulan Desember 1983, Munas Alim Ulama diselenggarakan di Situbondo, kesepakan mengenai asas tunggal belum tercapai, Kiai Ahmad Siddiq menyampaikan pidato tertulisnya yang mengatakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila adalah idiologi sedangkan Islam adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain.( K.H. Achmad siddiq, Pidato Pemullihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983.) 
Belum pinalnya pengakuan Nahdlatul Ulama terhadap asas tunggal Pancasila, telah mendorong kalangan Nahdaltul Ulama untuk segera menyelenggarakan Muktamar yang ke XXVII, dalam upaya menegaskan keputusan-keputusan Musyawarah Nasiona. Muktamar Nahdlatul Ulama yang ke XXVII diselenggarakan pada tanggal 8-12 Desember Tahun 1984 yang bertempat di Situbondo. Sebagai bentuk implementasi hasil muktamar, pada muktamar ke 27 Pancasila dicantukan sebagai asas, namun Islam tetap diletakkan di tempat utama di dalam Pasal 3 sebagai Aqidah.
BAB II
AQIDAH / ASAS
Pasal 3

Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah diniyyah Islamiyyah beraqidah / berasas Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara NAHDLATUL ULAMA berpedoman kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yng adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Agama juga dicantumkan dalam Pasal 5 yang berjudul tujuan.


BAB IV
TUJUAN DAN USAHA
Pasal 5
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jam’ah dan menganut salah satu dari mazdhab empat, ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Keputusan yang paling penting hasil muktamar ke 27 di Situbindo adalah: NU kembali ke Khittah 1926 dengan meninggalkan politik praktis, menegaskan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, dan terpilihnya K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU.
Hasil negosiasi antara Nahdlatul Ulama dengan Pemerintah mengenai Pacasila sebagai asas tunggal, telah membuat wajah baru dengan dimasukannya Pancasila kedalam tek Anggaran Dasar baru Nahdlatul Ulama. Ini merupakan pekerjaan sukar dan rawan karena harus memuaskan perasaan Pemerintah dan sekaligus para ulama yang tidak mungkin melepaskan identitas keagamaannya. Penyeragaman idiologi telah menghilangkan makna partisipasi dalam DPR, dan oleh karenanya Nahdlatul Ulama memutuskan keluar dari politik praktis kembali ke Khittah 1926. mulai saat itu secara resmi Nahdlatul Ulama keluar dari PPP.
Dengan kembalinya Nahdlatul Ulama ke khittah 1926, dan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, ditambah keluarnya Nahdlatul Ulama dari arena politik praktis, telah mengubah pandagan rezim Orde Baru terhadap Nahdlatul Ulama, ketegangan mulai mencair, harmonisasi mulai dijalin,  pamor Nahdlatul Ulama mulai menanjak, reaksi yang ditujukan terhadap NU oleh berbagai kalangan di luar komunitas itu tampak beragam: mulai dari yang merasa terkejut hingga yang merasa perlu untuk melontarkan kutukan.
Penerimaan NU terhadap Pancasila dan Negara kesatuan Republik Indonesia sudah pinal. Sikap NU tidak berbicara bentuk negara harus seperti apa ?, dasar negaranya apa ?, NU lebih terpokus bagaimana mengisi kemerdekaan ini sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pada sidang tahunan MPR,2001 dimana Fraksi-fraksi ribut mempertanyakan kembali “Piagam Jakarta” dan keberadaan Pancasila sikap NU tetap istiqomah bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila adalah idiologi sedangkan Islam adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain. Negara Indonesia adalah bentuk pinal perjuangan bangsa ini..( K.H. Achmad siddiq, Pidato Pemullihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983.)



 KHITTAH NAHDLATUL ULAMA



1
Mukaddimah

Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu membantu dan keseia sekataan merupakan prasyarat dari tumbuhnya persaudaraan (at‑ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata‑kemasyarakatan yang baik dan harmonis.
Nahdlatul Ulama sebagai Jarn'iyyah Diniyyah adalah wadah bagi para ulama dan pengikut‑pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M dengan tujuan untuk memelillara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan ahius sunnah wal ­jamaah dan menganut salah satu madzhab empat, masing‑masing Imam Abu Hanifah An- Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam ldris Asy‑Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal; serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut‑pengikutnya dalam melakukan kegiatan‑kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan martabat manusia. Nahdlatul Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.
Nahdlatul Ulama mewujudkan cita‑cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar‑dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut sebagai Khittah Nahdlatul Ulama
2
Pengertian
a
khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ularna yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.
b
Landasan tersebut adalah faham Islam ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar‑dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan.
c
khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari pedalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
3
Dasar‑dasar faham keagamaan Nahdiatul Ulama.
a
Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al‑qur'an, As­Sunnah, AI‑ Ijma' dan Al-Qiyas.
b
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber‑sumbemya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham ahIus sunnah wal jama'ah dan menggunakan jalan pendekatan (AI­Madzhab) :
(1)
Di bidang 'aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti faham ahlus sunnah wal jama'ah yang dipelopori oleh Imam  Abul Hasan AI Asy'ary dan Imarn Abu Mansur AI Matuddi.
(2)
Di bidang fiqh, Nahdlatul Ularna mengikuti jaian pendekatan (al‑madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah An-Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal.
(3)
Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam AI Junaid AI Bagdadi dan Imam AI Ghazali serta Imam‑lmam yang lain.
c
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempumakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempumakan nilai‑nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi   milik serta ciri‑ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai‑nilai tersebut.
Penjelasan
Banyak orang yang memanfaatkan Khitoh NU untuk kepentingan politik masing-masing. Bahwa khitoh NU adalah: a). khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ularna yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. b) Landasan tersebut adalah faham Islam ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar‑dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. c) khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari pedalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. 
Guna mengakomodir kepentingan politik warga NU, dimana NU bukan lagi Partai Politik dan tidak tergabung dengan Partai Politik, manapun, maka Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendirikan Lembaga Politik yang dimaknai sebagai lembaga khusus untuk mewadahi dan mengakomodir aspirasi politik warga NU. Lembaga tersebut dinamai "Partai Kebangkitan Bangsa", sehingga demikian kedudukan Partia Kebangkitan Bangsa sejajar dengan LDNU, LKKNU, LPNU, LP2NU dan Lembaga lainnya.
Dengan pemahaman NU kembali ke khitoh, PBNU tidak lagi mengurusu urusan politik peraktis, sebab sudah ada yang menangani lembaga tersendiri yaitu Partai kebangkitan Bangsa.
Partai kebangkitan Bangsa, diberi tugas dan wewenang oleh PBNU untuk mengurusi politik peraktis menyuarakan aspirasi PBNU sampai ketingkat akar rumput.
Bagi warga NU yang ingin mengurusi Politik Praktis, (ingin jadi pengurus Partai Politik, atau mencalonkan diri di Lembaga legislatif), maka PBNU telah menyediakan wadahnya, sehingga aspirasi politik warga NU tidak tercecer.
Pendirian Partai Kebangkitan Bangsa oleh PBNU, ditujukan sepenuhnya, agar PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU, Ranting NU dan Anak Ranting NU, terkonsentrasi pada da'wah, pendidikan dan pembangunan umat, tidak lagi mengurusi politik praktis.
Pembagian tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga, banom dan lajnah, merupakan hakikat Khitoh NU.
Kondisi ini menunjukan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang menganut sistem organisasi modern, dimana setiap satuan tugas diserahkan kepada Badan Otonom, Lembaga dan Lajnah.

4 Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.
Dasar‑dasar pendirian faham keagamaan Nahdlatul Ulama tersebut menumumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada

a .Sikap tawasuth dan I'fidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjungjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah‑tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

b .Sikap tatsamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu' atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

c .Sikap tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu dan masa mendatang.

d .Amar ma'ruf nahi mungkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah sernua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai‑nilai kehidupan.

5 .Pedlaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan Nahdiatul Ulama.
Dasar‑dasar keagamaan (angka 3) dan sikap kemasyarakatan tersebut (angka 4) membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang :
  • Menjunjung tinggi nilai‑nilai maupun norma‑norma ajaran Islam.
  • Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi.
  • Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah dan berjuang.
  • Menjunjung tinggi persaudaraan (al‑ukhuwah) persatuan (al‑ittihad) serta kasih mengasihi.
  • Meluhurkan kemuliaan moral (al‑akhlak al‑karimah), dan menjungjung tinggi kejujuran (ashshidqu) dalam berfilkir, bersikap dan   berbndak.
  • Menjunjung tinggi kesetiaan (Loyabtas) kepada agama, bangsa dan negara.
  • Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
  • Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta akhli‑akhlinya.
  • Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.
  • Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
  • Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

6 .lkhtiar‑ikhtiar yang dilakukan Nahdiatul Ulama.
Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama kegiatannya sebagai ikhtiar mewujudkan cita‑cita dan tujuan berdirinya, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyakatan.

Ikhtiar‑ikhtiar tersebut adalah :
  • Peningkatan silaturahimi (komunikasi) inter‑relasi antar Ulama. (dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan : mengadakan perhoeboengan diantara oelama‑oelama jang bermadzhab ).
  • Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan / pengkajian / pendidikan.(dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan : memeriksa kitab‑kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe daripada kitab‑kitab ahli soennah wal djamaah ataoe kitab‑kitab ahli bid'ah; memperbanjak madrasah‑madrasah jang berdasar agama Islam.
  • Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana‑sarana peribadatan dan pelayanan sosial. (dalam statoeten Nahdlatuoel Oelama 1926 diseboetkan: Menjiarkan agama Islam dengan djalan apa sadja jang halal, memperhatikan hal‑hal yang berhoeboengan dengan masdjid‑masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondok­pondok, begitu djuga dengan hal ihwalnja anak‑anak jatim dan orang‑orang jang fakir miskin).
  • Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. (dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 diseboetkan: mendirikan badan‑badan oentoek masyarakat, terutama dengan memadjoekan oeroesan pertanian, pemiagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara' agama Islam).

Kegiatan‑kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus‑menerus dibina hubungan dan komunikasi antar para Ulama sebagai pemimpin masyarakat serta adanya keperihatinan atas nasib manusia yang terjerat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai bidang garapan yang harus dilaksanakan melalui kegiatan‑kegiatan nyata. Pilihan akan ikhtiar yang dilakukan mendasad kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya masyarakat sendiri.
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan kesatuan para Ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, menjadi sejahtera dan berakhlak mulia.
Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan partisipatif terhadap setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat kepada kehidupan yang maslahat.
Setap kegiatan Nahdlatul Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianut.
7
Fungsi Organisasi dan kepemimpinan Ulama di dalaminya.
Dalam rangka melaksanakan ikhtiarnya Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan­-tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jarn'iyyah Diniyyah yang membawa faham keagamaan, maka ulama sebagal matarantai pembawa   faham Islam ahlussunnah wal jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Untuk melaksanakan kegiatan‑kegiatannya, Nahdiatul Ulama menempatkan tenagatenaga yang sesuai dengan bidangnya untuk menanganinya.
8
Nahdlatul Ulama dan kehidupan berbangsa
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatakan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi yang aktif dalarn proses pejuangan dan mempertahankan kemerdekaan, serta ikut aktif dalampenyusunan UUD 1945 dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara.

Keberadaan Nahdiatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam pembangunan   bangsa menuju masyrakat adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa ta'ala.
Karenanya setiap warga Nahdiatul Ulama harus menjadi warganegara yang senantiasa menjujung tinggi Pancasila dan UIUD 1945.

Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama mrupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al‑ukhuwah) toleransi (al­tasamuh) kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama ummat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan agama lain untuk bersama‑sama mewujudkan cita‑cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warga‑negara yang menyadari akan hak dan kewajiban terhadap bangsa dan negara.

Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakat manapun juga, setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak‑hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalarn memecahkan permasalahan yang dihadapi bersarna.
9
Khotimah
Khitah Nahdlatul Ulama ini merupakan landasan dan patokan‑patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah subhanahu wa ta'ala terutama tergantung kepada semangat pemiliknya warga Nahdlatul Ulama. Jamiyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita‑citanya jika pemimpin dan warga benar‑benar meresapi dan mengamalkan khittah Ulama ini.
MUKTAMAR KE 26 NAHDLATUL ULAMA
Situbondo, 12 Desember 1984




NU PASKA KHITTAH



Paska Khithoh 1926, peran aktif NU dalam bidang politik berbeda dengan sebelumnya, hal ini nampak tergambar dari Muqodimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama. “ Nahdlatil Ulama sebagai jam’iyyah  secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik  dan organisasi kemasyarakatan manapun juga, setiap warga Nahdlatil Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokrasi, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama”.
Nahdlatul Ulama memandang politik sebagai pemahaman terhadap ketata negaraan, sehingga politik dipahami sebagai partisipasi aktif membangun system ketata negaraan yang sesuai dengan cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia. NU tidak lagi berpolitik praktis, warga NU tersebar di PPP, Golkar dan PDI. Menjelang pemilu 1987, Nahdlatul Ulama mulai jadi rebutan. Golkar dengan kepiawaiaannya mulai melakukan pendekatan, beberapa aktivis mulai terpikat oleh pendekatan yang dilakukan Golkar, Abdurrahman Wahid bersikap lain, Ia menunjukan rasa simpatinya terhadap Partai Demokrasi Indonesia, dilain pihak Ia juga bergandengan dengan Siti Hardianti Rukmana (Emba Tutut).
Menjelang pemilu 1992 artikulasi pilihan politik warga Nahdlatul Ulama kembali menjadi rebutan, pamor  Nahdlatul Ulama semakin menanjak. Presiden Suharto gencar mencari dukungan dari ormas Islam terbesar ini. Gejala ini dimulai tahun 1988 ketika terjadi perpecahan yang cukup gawat dalam tubuh rezim Suharto.
Pada tahun-tahun itu sebagian ABRI menentang kebijakan Presiden Suharto dengan secara terang-terangan menampakan kekecewaan terhadap peningkatan otokratisme Presiden itu. Sumber utama ketidak puasan ABRI adalah berkurangnya kekuasaan ABRI. Presiden telah mencabut antara lain, hak ABRI dalam menentukan pembelian perlengkapan Angkatan Bersenjata. Selain itu, Suharto juga memilih Sudharmono untuk diangkat sebagai Wakil Presiden, hal ini benar-benar berlawanan dengan pimpinan teras ABRI, yang menghendaki John Naro menjadi Wakil Presiden (Keinginan ABRI menjadikan John Noro sebagai Wakil Presiden, terkait dengan  sekenario awal dalam penempatan John Naro sebagai Pimpinan  PPP.). Kondisi diatas memaksa Presiden Suharto melakukan aliansi dengan Ormas Islam.
Pada pemilu 1992 banyak suara partai Islam yang beralih ke partai Golkar sebagai partai pemerintah, suatu kecenderungan yang sudah dimulai tahun 1987. Perolehan suara hasil pemilu 1992, Golkar 68.1%, PPP 17% dan PDI meningkat menjadi 14,9%.(Peningkatan perolehan suara PDI karena mendapat sokongan dari ABRI yang kecewa pada Presiden Suharto). Dalam konpigurasi politik baru ini, NU kembali memainkan peran penentu yang memang sering dimainkan semenjak zaman kemerdekaan.
Pada tahun 1997, aspirasi politik wagra Nahdlatul Ulama diperebutkan kembali, banyak penomena yang muncul dalam menjelang pemilu 1997, mulai dari upaya merebut kepemimpinan di PPP, sampai eksodus ke Golkar dan PDI. Disatu sisi para politisi Nahdlatul Ulama di PPP merancang kekuatan yang dikenal dengan kelompok Rembang, untuk merebut pimpinan ditubuh PPP (Pada Muktamar ke 2 PPP, ulama dan politisi NU sayap PPP yang diprakarsai K.H.M. Chalil Bisri menggelar konsolidasi politik untuk merebut posisi ketua umum DPP PPP dengan menjagokan Matori Abdul Jalil sebagai kandidat utama yang akan menyaingi Ismail Hasan Metarium yang didukung pemerintah, namun hasilnya gagal total.), di sisi lain Gus Dur terus asik bergandengan dengan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDI dan dengan Siti Hardianti Rukmana (Tutut) yang notabene pengurus Golkar. Sikap pulgar Gus-Dur ini, jelas mengundang kontroversi, sebab dipandang akan mengaburkan arti khittah. Namun perlu dicatat paska khittah 1926, kekuatan politik Nahdlatul Ulama jadi tersebar di tiga partai, sehingga masa Nahdlatul Ulama menjadi rebutan partai-partai. Walaupun banyak pengkritik yang menilai kekuatan Nahdlatul Ulama jadi kerdil, namun pada kenyataannya kepiawaian Gus Dur telah mengangkat citra Nahdlatul Ulama yang dulu selalu dipojokan menjadi rebutan, dari kacamata stategi politik jelas Nahdlatul Ulama menang segalanya.
Hasil pemilu 1997, Golkar sebagai alat politik rezim Orde Baru menang telak. Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar, kembali mencalonkan Presiden Suharto untuk dipilih kembali jadi Presiden karena masih didukung oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Maka tidak terelakan lagi Suharto kembali terpilih jadi Presiden yang ke tujuh kalinya. Pada akhir tahun 1997, krisis ekonomi melanda Indonesia, legitimasi Suharto mulai digerogoti, krisis ekonomi melebar menjadi krisis politik, demontrasi anti Suharto merebak dimana, pamor Suharto mulai menyusut, gelombang unjuk rasa yang dipelopori Mahasiswa semakin meluas, akhirnya Harmoko sebagai ketua DPR / MPR waktu itu, meminta Presiden Suharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto meletakan jabatannya, digantikan oleh  Burhanudin Yusuf. Habibi.


No comments:

Post a Comment