Thursday, March 17, 2011

BAB VII NU DAN NKRI DALAM BAHAYA








BAB VII

PERAN NU  DIZAMAN KEMERDEKAAN
  




Pada tanggal 17 Agustus Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Moh. Hatta, dengan demikian Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pada malam tanggal 17 Agustus 1945, Moh.Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk dari Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam, mengenai dimuatnya Piagam Jakarta pada Mukadimah Undang-Undang Dasar. Bila tidak diubah mereka lebih suka berdiri diluar Republik Indonesia.
Tanggal 18 Agustus Moh.Hatta, memanggal empat orang Panitia Persiapan Kemerdekaan yang dianggap mewakili Islam: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singosdimedjo. Teuku Mohamad Hasan dan Wahid Hasim.
Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan rujukan pada Agama Islam dalam teks Mukadimah Undang-Undang Dasar. Sebagai gantinya Wahid Hasim mengusulkan Agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, penambahan kata Esa berarti Tauhid yang tidak terdapat pada Agama lain. Dengan demikian Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi Negara yang bertuhan satu (Monoteis),  dengan kata lain negara Tauhid.
September 1945 pasukan Inggris mendarat di Jawa mewakili sekutunya Belanda, yang berusaha mengembalikan kekuasaannya di Hindia Belanda. Dalam waktu singkat Jakarta, Bandung dan Semarang telah jatuh ketangan tentara sekutu. Menghadapi ancaman ini para Ulama Nahdlatul Ulama berkumpul pada tanggal 22 Oktober 1945 dan menyatakan perang jihad melawan tentara sekutu. (yang kemudian dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad). Para Ulama “ memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia  supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan, Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak belanda dan kaki tangannya”.( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
Perang berkecamuk disana sini, dengan dikeluarkannya resolusi Jihad, perlawanan terhadap nika terjadi dimana-mana, keikut sertaan Kiai Sakti telah turut mensepot semangat warga Nahdlatul Ulama dalam berjuang.
Pada tanggal 3 Januari 1946, Nahdlatul Ulama secara penuh mengambil bagian dalam pemerintahan dengan diberikannya jabatan mentri Agama, yang dijabat oleh  KH.A.Wahid Hasim. Bagi Nahdlatul Ulama jabatan ini merupakan kunci yang membuatnya berada pada posisi yang sangat menguntungkan untuk jangka panjang karena telah memberikan landasan yang sah bagi aktivitas social keagamaannya.
Pada tanggal 25 Mei 1947 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke tujuh belas bertempat di Madiun, dalam muktamar dibahas situasi dan kondisi negara menghadapi revolusi pisik dimaksudkan untuk mengambil langkah-langkah strategis menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegagalan diplomasi dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan  tanggal 27 Desember 1949 Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam pemerintahan yang baru Nahdlatul Ulama sangat kesulitan mendapatkan posisi, karena disamping jumlah kader NU sedikit, dukungan dari Islam modernis tidak ada, namun demikian KH.A.Wahid Hasim masih diberi posisi sebagai mentri Agama. Walaupun NU kesulitan menempatkan posisi pada pemerintahan baru ini, NU terus berusaha menancapkan kuku pengaruhnya didalam pemerintahan.
Pada tanggal 30 April – 3 Mei 1950 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke delapan belas bertempat di Jakarta, Dalam muktamar tersebut, NU membahas berbagai hal yang berhubungan dengan agama, perkembangan politik dan hubungan NU dengan Negara menyikapi keadaan Negara yang menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Untuk diketahui, aliansi politik NU pada waktu itu masih bergabung dengan Masyumi. Namun walaupun NU masih berada dalam bagian tuhub Masyumi, beberapa muslim modernis radikal terus menerus menghujam mengkritik kepada departemen yang dipimpin oleh Wahid Hasyim sebagai Rois Akbar NU, hal ini jelas sangat menyinggung perasaan NU.
Akibat kritikan tersebut pada April tahun 1952 Mentri Agama diganti oleh Fakih Usman, seorang modernis dari Muhamadiyah. Kondisi ini telahmelukai perasaan NU, sehingga memaksa NU untuk mengakhiri kerjasamanya dengan kalangan Modernis dengan cara keluar dari Partai Masyumi.
Pada bulan itu juga April 1952, NU menyelenggarakan Muktamar yang bertempat di Palembang, yang menghasilkan putusan, NU mendirikan Partai Politik sendiri yang dikenal Partai NU.
Ini suatu keberanian yang luar biasa, setelah dihiyanati oleh koleganya, NU tampil menjadi Partai Politik Pesaing Masyumi. Keberanian ini terutama datang dari Kiai Wahab. Ketika Isa Anshary dari Masyumi bertanya secara ironis kepada Kiai Wahab apakah ia telah mempersiapkan orang-orangnya untuk memimpin Partai Politik, Kiai Wahab menjawab dengan pedas:
Kalau saya akan membeli mobil baru, dealer mobil itu tidak akan bertartya: "Apa tuan bisa memegang kemudi?" Pertanyaan srupa itu tidak perlu, sebab andaikata saya tidak bisa mengemudikan mobil, saya bisa memasang iklan mencari sopir'. Pasti nanti akan datang pelamar-pelamar sopir antre di muka pintu rumah saya ... !"
Ketika Partai NU digaungkang, betl saja kalangan pengusaha, praktisi hukum, para ahli ekonomi, tanpa mempermasalahkan hubungan mereka dahulu dengan NU langsung masuk Partai NU, sehingga Partai NU menjadi semakin kuat, namun di lain pihak, cara-cara ini telah menyebabkan semakin menguatnya sayap politis, hingga otoritas para ulama menjadi berkurang.
Kaum tradisionalis luwes di bidang politik dan lebih suka ambil bagian dalam berbagai pemerintahan yang dinilai terlalu kiri oleh para modernis yang kini menguasai Masyumi.
Setelah NU menjadi Partai yang mempunyai kekuatan lobi sendiri, pada bulan Juli 1953 NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, yang dipimpin PNI dan didukung oleh PKI. Sebaliknya, Masyumi dan PSI tampil sebagai oposisi. Di situ NU menambah peran politiknya: tidak hanya jabatan Menteri Agama saja yang diserahkan kepadanya, juga Menteri Pertanian dan bahkan jabatan Wakil Perdana Menteri.
Dengan demikian, kedudukan NU semakin kuat didalam pemerintahan, dan peran NU dalam mempengaruhi dan mewarnai jalannya pemerintahan semakin terbuka.
Pemimpin Masyumi kecewa melihat NU semakin kuat dan semakin dekat dengan Soekarno. Kekecewaan Masyumi terhadap itu hal wajar, karena yang semula NU diatur oleh Masumi, sekarang tidak bisa diatur lagi, bahkan menjadi lawan politik.
Pada tahun 1954, sebuah konferensi para ularna yang diselenggarakan di Cipanas (jawa Barat), di bawah pimpinan Menteri Agama, Kiai Masykur, telah mengangkat Soekarno dan pemerintah sebagai "Walyyul amri ad‑daruri bisy‑Syaukah ". Gelar ini membuat Soekarno menjadi seorang Kepala Negara yang sah dan, oleh karenanya, ipso facto, harus dipatuhi semua urnat Islam.
Keputusan tersebut diprotes oleh Masyumi karena dianggap kurang tepat dan merupakan bencana bagi perjuangan Islam, sebab negara Indonesia belum berlandaskan Islam, sebuah cita-cita yang, menurut mereka, masih bisa diraih dalam Majelis Konstituante mendatang.
Kiai Wahab membenarkan pemberian gelar itu di depan Parlemen pada tanggal 29 Maret 1954. Katanya, menurut Fikh, wanita Islam yang tidak mempunyai wali nasab, perlu kawin didepan wali hakim, supaya anaknya tidak menjadi anak jina. "Karena itu, maka ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini ialah Kepala  Negara kita," yang kemudian diwakili oleh pejabat.
Ini sangat menarik, Kiai Wahab tidak hanya berhenti sampai disitu, tidak berhenti pada soal fikih dan wali hakim saja, namun secara tegas juga beliau membela legitimasi Soekarno: "Apabila rakyat belum mau mengakui dari sudut agama, bahwa pemerintah kita ini pemerintah yang sah, meskipun darurat, niscaya akan muncul berma­cam‑macam Waliyul amri untuk sendiri‑sendiri." Ia menambah­kan: "Pemerintah yang sekarang ini memang pemerintah yang sah dan wajib ditaati.".Pembelaan Kiai Wahab terhadap Soekarno sebagai Kepala Negara didasarkan pada dalih bahwa beliau it"bersembahyan& perkawinan beliau secara Islam, begitu juga sumpah beliau secara Islam."
Walaupun Soekarno dianggap sebagai seorang abangan, namun dia tetap diakui sebagai seorang mus­lim. penuh oleh Kiai Wahab yang kelihatannya tidak mau meren­dahkan orang Jawa yang tidak taat pada semua peraturan aga­ma. Itu memang sesuai dengan toleransi NU terhadap keragaman tingkat keimanan, mengikuti teologi Imam Asy'ari. Kiai Wahab menjelaskan, ia tidak akan membela suatu pemerintahan yanmisainya, "memerintahkan orang tidak boleh bersembahyang" atau "yang menetapkan bahwa tiap-tiap orang boleh minum sebotol bier atau whisky", suatu tindakan yang memang tidak dilakukan oleh pemerintah.
Kiai Wahab menjelaskan bahwa Soekarno memang bisa dianggap Imam daruri, karena Imam A'dhom yang sempurna, yang dapat menguasai "seluruh dunia Islam ... yang semartabat dengan mudjtahid mutlak.. sudah tidak ada semendjak 700 tahun sampai sekarang"." Artinya, hanya seorang mujtahid mutlak yang dapat menyingkirkan kepala negara yang tidak anti agama.
Dalam nada yang sama, juru bicara Liga Muslimin Indonesia dari Perti, H. Siradjuddin Abbas, pada hari yang sama dengan saat Kiai Wahab angkat bicara, mengisyaratkan di depan Parlemen bahwa tuduhan dan kecaman yang dilontarkan kepada ulama tradisionalis mengenai keputusan Cipanas hanyalah perwujudan dari rasa permusuhan kaum pembaharu.
Ini artinya, bukan mereka tidak mengakui Soekarno sebagai pemimpin, namun karena yang berbicaranya NU kaum sarungan, ortodok, tradisional dan ketinggalan zaman, maka mereka menganggap salah. Dengan kata lain, kalau hal tersebut keluar dari mulut mereka, pasti dianggap benar.



No comments:

Post a Comment