Thursday, March 17, 2011

BAB VI NU DAN NKRI DALAM BAHAYA







BAB VI  PERAN NU
DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN




Seiring dengan munculnya gerakan Islam Radikal yang menyerukan berdirinya Khilafah Islamiyah, penulis memandang perlu mengurai sekilas sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda sekarang tahu, bahwa merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah, bukan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah.
Hal lain yang ingin ditegaskan dalam penulisan bab ini adalah, bahwa NU pemilik sah saham republik  ini, dan ini hanya bisa diketahui melalui penelusuran sejarah peran NU dalam perebutan kemerdekaan dari penjajah.
Sejak zaman prakemerdekaan, Nahdlatul Ulama sebagai basis organisasi kaum tradisionalis Islam Indonesia, yang terdiri atas para kiai dan santri di Jawa, telah memainkan peran yang sangat penting dalam menyusun barisan anti penjajahan. Ketika organisasi ini didirikan pada tanggal 31 januari 1926 oleh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Chasbullah, tujuan awalnya memang bukan untuk menciptakan kekuatan politik yang secara frontal melawan penguasa Belanda. la lahir sebagai suatu wadah bergabungnya para ulama dalam, memperjuangkan "tradisi pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sesuai dengan kultur Indonesia" yang oleh kaum pembaru dianggap bid'ah karena menurut mereka tidak sesuai dengan AI‑Qur'an dan sunnah. Tuntutan nurani sebagai manusia merdeka, mendorong Nahdlatul Ulama tidak pernah tinggal diam dalam mengupayakan kemerdekaan.
Rumusan perjuangan NU dalam merebut kemerdekaan, sudah terlihat dari hasil muktamar kedua, yang diselenggarakan pada tanggal 14 –16 Rabiul Tsani 1346 H  bertepatan dengan (9-11 Oktober 1927) bertempat di Hotel Muslimin Jalan Paneleh Surabaya. Muktamar kedua menghasilkan putusan politik; Pertama meminta kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memasukan kurikulum Agama Islam pada setiap sekolah umum di Jawa dan Madura. Kedua masalah perkawinan dibawah umur. Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah Hindia Belanda agar orang yang akan dijadikan penghulu atau naib itu, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan para Ulama setempat.
Semangat untuk memposisikan diri menjadi tuan dinegrinya sendiri terus diguliskan. Perlawanan ter hadap penjajah baik secara diplomasi, maupun secara mengangkat senjata terus dilakukan.
Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke XV diadakan pada tanggal 15-21 Juni 1940 M  yang bertempat di Surabaya, NU sudah mempunyai daya pandang tersendiri tentang masa depan bangsa ini. Sehingga pada muktamar tersebut NU menghasilkan putusan mengenai sikap NU terhadap calon pemimpin Nasional. Dalam Muktamar ini NU telah yakin bahwa kemerdekaan akan segera tercapai, sehingga perlu mengadakan rapat tertutup guna membicarakan siapa calon yang pantas untuk menjadi Presiden pertama Indonesia. Rapat rahasiah ini hanya diperuntukan 11 orang tokoh NU, Rapat dipimpin oleh KH.Mahfudz Siddiq dengan mengetengahkan dua nama: IR.SOEKARNO  dan DRS.MUHAMMAD HATTA. Rapat berakhir dengan kesepakatan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dengan dukungan sepuluh suara, sedangkan Drs.Muhammad Hatta sebagai wakilnya dengan dukungan satu suara (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
Pada bulan Maret tentara Dai Nippon menggantikan kedudukan Belanda. Mulanya kedatangan tentara Jepang disambut ramah oleh masyarakat Indonesi, karena disangka akan melepaskan belenggu penderitaan, namun pada kenyataan tentara Jepang lebih bengis dan lebih sadis, banyak orang yang dimasukan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Seminggu setelah pendudukan Batavia, Kolonel Horie menyatakan dirinya diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi kepala Kantor Urusan Agama (Shumubu). Kebengisan dan kesewenangan-wenangan tentara Jepang diperlihatkan dengan melarang semua kegiatan politik Bangsa Indonesia dalam bentuk apapun, perlakuan Jepang mendapat reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Korban kesewenang-wenangan Jepang pada bulan April 1942 Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH.Hasim Asy’ari dan ketua Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama, KH.Mahfudz Shiddiq ditangkap tentara Jepang dan dipenjarakan tanpa alas an yang tepat. Pada tanggal 1 Agustus 1942 para konsul Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di Jakarta, membahas pembelaan terhadap kedua pemimpinnya yang disekap Jepang. Pada tanggal 18 Agustus 1942, kedua pimpinan Nahdlatul Ulama dibebaskan tanpa sarat.
Pada tanggal 7 Desember 1942 Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Jepang di Jawa, Seiko Sikikan, mengundang 32 orang Ulama Jawa dan Madura termasuk KH.Hasim Asy’ari, KH.Mahfudz Shiddiq dan KH.Wahid Hasim dalam sebuah resepsi penghormatan Jepang kepada Ulama bertempat di Gubernur Batavia. Ini berarti sebuah bentuk pengakuan Jepang terhadap keberadaan Kiai Nahdlatul Ulama.
Pada bulan September 1943 secara resmi Jepang mengijinkan dan mengakui aktifitas kembali Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah. Setelah diijinkan aktifitas Nahdlatul Ulama lebih diefektifkan, pada tahun 1944 KH. Hasim Asy’ari dan Ir.Soekarno menjadi penasihat Jawa Hokokai, ketika Jepang minta Jawa Hokokai mengumpulkan pemuda untuk dilatih menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air), KH.A.Wahid Hasim juga meminta kepada Jepang untuk melatih para santri di pesantren. Tentara santri ini bernama HIZBULLAH dan SABILILLAH. Tentara Hizbullah dipimpin oleh Saifudin Zuhri diri Nahdlatul Ulama, yang bermarkas di Jakarta. Sedangkan para Ulama memasuki BARISAN SABILILLAH yang bermarkas di Malang Jawa Timur, Barisan Sabilillah dipimpin oleh KH.Maskur konsul Nahdlatul Ulama.
Pada tanggal 12 Oktober 1944, KH.Hasim Asy’ari selaku ketua Masyumi menerima kawat teguran Syekh Muhammad El Amin al-Husaini (Pensiunan Mufti besar Baitul Muqaddas) tentang janji kemerdekaan yang telah dijanjikan Jepang yang dipidatokan oleh Perdana Mentri Kunaiki Koiso pada tanggal 7 September 1944. untuk membahas kawat tersebut KH.Hasim Asy’ari mengadakan rapat.
Pada awal tahun 1945 Jepang kalah perang melawan sekutu, semangat anti Jepangpun berkobar, Tentara Hisbullah dan Sabilillah menyerbu dan melucuti tentara Jepang sehingga Jepang menyerah Kalah. Pada tanggal 29 April 1945 dbentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, disingkat BPUPK) yang beranggotakan 62 orang salah satunya KH.A.Wahid Hasim. Pada akhir Mei 1945 menurut kesaksian lisan Kiai Masykur, antara Soekarno dan tiga pemimpin muslim: Kiai Wahid Hasim, Kiai Maskur dan Kiai Kahar Muzakkir melakukan pembicaraan. Tentang Rumusan dasar Negara (Panca Sila), yang kelak  kemudian akan dipidatokan oleh Soekarno.( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
 Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia di dasarkan pada Pancasila atau lima dasar yitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, peri-kemanusiaan.
3. Permusyawaratan, perwakilan, mufakat
4. Kesejahtraan
5. Ke-Tuhanan. (H.Endang Saifuddin Anshari, MA. Piagam Jakarta, CV Rajawali Jakarta 1986)
Dalam penggodogan Pancasila selanjutnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, sampai Soekarno memanggil panitia BPUPKI yang berjumlah 62, untuk membentuk suatu panitia kecil yang berjumlah 9 orang dengan tugas membahas kemungkinan kompromi antara kelompok Islam dan Kelompok Nasionalis. Wahid Hasim duduk di kepanitia 9 yang mewakili Nahdlatul Ulama. Pada tanggal 22 Juni 1945 dasar negara mengenai ketuhanan ditambahkan acuan syari’at dalam kata-kata :dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999)
Tanggal 10 Juli Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh Nasionalis sekuler dan Kristen, sehingga terjadi perdebatan mengenai kekawatiran syariat Islam akan menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat istiadat. Untuk membahas kebebasan beragama dibentuk lagi panitia yang beranggotakan 19 orang. Dalam pembahasan panitia 19 Wahid Hasim mengusulkan rumusan berikut: “ Agama Negara adalah Islam dengan menjamin bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agama masing-masing”. Lebih jauh Wahid Hasim mengusulkan bahwa Presiden dan Wakil Presidennya Harus beragama Islam.
Pada tanggal 14 Juli,  pada sidang pleno BPUPK (Panitia 62) Ki Bagus Hadikusumo  dari Muhammadiyah mengusulkan rumusan baru, dengan menghapus kata “Bagi Pemeluknya”, yang berarti syariat Islam harus dijalankan baik oleh orang Muslim, maupun orang non-muslim. Pendapat tersebut ditentang oleh Soekarno. Pada tanggal 15 Juli, perdebatan semakin sengit, sampai-sampai Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo dengan nada keras mengusulkan, kalau Piagam Jakarta tidak disetujui, maka lebih baik semua acuan pada agama Islam dihapuskan. Tanggal 16 Juli, Soekarno menyeru kepada kaum Nasionalis untuk bersedia berkorban menerima Piagam Jakarta dan persyaratan Presiden harus orang asli yang beragama Islam.( H.Endang Saifuddin Anshari, MA. Piagam Jakarta. CV. Raja Wali  Jakarta 1986.)
Akhirnya setelah melakukan negosiasi semua usul Nahdlatul Ulama yang mengambil jalan tengah antara usul tokoh Muhammadiyah dan tokoh Nasionalis disetujui.
Pada tanggal 17 Agustus, teks proklamasi dibacakan, sehingga terhitung tanggal tersebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka.
Sebagai Organisasi Islam yang ikut memerdekakan Indonesia, sikap NU tegas NKRI sudah pinal, tidak boleh diotak atik siapapun. Siapa saja yang yang ingin mengobok-obok NKRI dan Idiologi Pancasila, siap-siap berhadapan dengan NU.



No comments:

Post a Comment